Sowan
Murid Kiai Hasyim Asy'ari (1)
"Nama
saya Sukadi.Tidak boleh dirubah ubah. Walau kelak menunaikan ibadah haji, kiai
Hasyim berpesan tak boleh diganti", begitulah penjelasan awal saat ditanya
ihwal namanya yang begitu singkat, Sukadi.
Jauh
dari bayangan saya sebagai murid, dekat dan khidmat hadratusy syekh selama lima
tahun di dalem. Tinggal di rumah yang sangat sederhana, penampilannya bersahaja
dan busana yang dikenakannya laiknya kiai berjejuluk "kiai kampung".
Padahal--untuk ukuran "rural society"--kekayaan mbah Sukadi
terhitung lumayan.
"Sudah
berumur berapa mbah jenengan sekarang ?", tanya saya berikutnya.
"Umur saya 108 tahun. Lahir tahun 1909", jawabnya. Kendati sudah
ompong atau giginya tak tersisa alias tanggal semua. Namun dari guratan wajah,
fisik, berjalan dan berdirinya tampak begitu sehat dan kuat.
Rupanya
mbah Sukadi termasuk yang lazim disebut "santri khusus". Lebih banyak
mengais ilmu hikmah, wisdom atau ilmu linuwih kepada kiai Hasyim. Mengalir
deras teks hafalannya saat diminta memberi contoh ilmu yang didapatkannya,
walau patut disayangkan, tak selembar-pun catatannya tersimpan.
Agaknya,
selain mbah Sukadi mengabdikan dirinya menyiapkan keperluan kiai Hasyim, lebih
suka menekuni ilmu linuwih.
Mbah
Sukadi, dari dalemnya di Kebumen ke Tebuireng selalu berjalan kaki. Biasanya,
ditempuh tujuh hari. Dan, rupanya kebiasaan ini selalu dilakukan sepanjang
nyantri di Pesantren Tebuireng. Hal ini menguatkan bahwa mbah Sukadi berbeda
dengan santri pada umumnya. Tak mengherankan bila kelak diminta menjadi
pengawal Soekarno dan melatih pemuda Islam sebagai "pasukan umat
Islam"
TAK
DIKENAL SANTRI HADRATUSSYEKH
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (2)
Entah
ini sengaja ditutup tutupi agar yang mengemuka sebagai ahli pijat dan pengawal
Soekarno. Walau mungkin ini cermin dari sikap low profile-nya, ketimbang
mendikler atau memamerkan dirinya selaku murid hadratusy syekh. Padahal, justru
sebaliknya yang banyak terjadi, kebanggaan dan sekaligus membuka diri dengan
menyebut santri pesantren Tebuireng atau murid langsung dari kiai Hasyim.
Mengapa
mbah Sukadi seolah lebih dikenal--untuk meminjam terminologi Clifford Geertz
dalam Religion of Java-nya--identitas dan berasal muasal dari lingkungan
abangan ? Ketimbang sebagai sosok yang pernah nyantri di pesantren Tebuireng
atau santri kiai Hasyim ?
Mungkin
bisa dirunut dan dijelaskan, kelebihan utama yang populer di khalayak ilmu yang
dimiliki adalah memijat dan ilmu linuwih. Tidak aneh, justru melalui posting
ini banyak yang baru tahu jika mbah Sukadi merupakan santri kiai Hasyim dan
lima tahun nyantri di pesantren Tebuireng. Tidak itu saja, pernah juga
mengenyam pesantren lainnya.
Keahlian
memijat, bahkan bukan sekedar memainkan jari jemari dan menekan serta mengusap
usap fisik pasiennya. Melainkan, mbah Sukadi dengan "titis" atau
akurat menunjuk bagian yang sakit dan menyembuhkannya melalui kemampuan
ilmu hikmahnya.
Sedangkan
kapasitas linuwih-nya hingga sampai ke ketelinga Soekarno. Sehingga mbah Sukadi
dipanggil Soekarno tak sekedar lantaran keahliannya memijat, namun juga
lantaran ilmu linuwih yang melekat pada dirinya. Di sini, mudah dipahami jika
kelak mbah Sukadi memainkan peran sebagai pengawal Soekarno pula.
Pertanyaan
yang menggelitik, hubungan dan kedekatan Soekarno-mbah Sukadi berlangsung
secara head to head, begitu saja ? Atau justru karena dikenali bahwa Mbah
Sukadi murid kiai Hasyim ? Mungkinkah Soekarno menaruh kepercayaan demikian
besar kepada mbah Sukadi bila bukan diketahui murid haratusy syekh ?
MBAH
SUKADI SOEKARNOIS
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (3)
Perihal
kedekatan mbah Sukadi dengan Soekarno tak perlu diragukan lagi. Keluar masuk
istana, turut bertaruh nyawa saat merebut Irian Jaya, menjadi pengawal
"non protokoler", foto Soekarno yang bergantung dekat pintu masuk
dalemnya dan hingga kini lalu lalang dan berdatangan para Soekarnois adalah di
antara petunjuk faktual. Menjadi sederet penanda tak terbantahnya hubungan
spesial mbah Sukadi-Soekarno.
Keluar
masuk dan datang silih berganti para Soekarnois ke dalemnya mbah Sukadi. Meski
warna warni motivasinya berbeda beda. Ada yang ingin meneguk spirit
nasionalisme, menyimak perjuangan Soekarno hingga mengusik dan demi mengendus
di mana "harta karun" Soekarno yang sering menjadi bahan perbincangan
disembunyikannya.
Namun
kedekatan keduanya tidaklah mekanistik, nir asbab al-nuzul, sepi dari cerita
menarik perkenalannya. Agaknya, di tengah kesibukan mbah Sukadi khidmat di
dalem kiai Hasyim, tak luput berpapasan dengan silih bergantiannya pejuang
kemerdekaan silaturrahim kepada kiai Hasyim.
Goresan,
gesekan dan pertemuan dengan pejuang, menyimak perbincangan dan mencermati
teladan kesungguhan sang kiai menyemangati dan memberi taushiyah tak urung pula
turut memantik semangat berjihad untuk tanah air.
Kendati,
masih belum diperoleh informasi yang jelas posisi mbah Sukadi yang basah
dialiri jiwa patriotisme apakah kelak sebagai bagian dari Tentara Sukarela
Pembela Tanair atau PETA (Kydo Boei Giyugun). Akan halnya di mana posisinya di
antara shodanco, budanco dan giyuhei. Atau malah sekedar "sukarelawan
lepas" dan berlaku tak ubahnya pengawal pribadi.
Hanya
saja, dalam diri mbah Sukadi pertama tama itu "Hasyimiyah". Mula
pertama murid dan pengikut kiai Hasyim, stigma Soekarnois yang datang belakang.
Bahkan, kedekatan dan sebutan Soekarnois tak mungkin muncul tanpa terlebih
dahulu mbah Sukadi nyantri di pesantren Tebuireng, berguru dan khidmat kepada
hadratusy syekh
MEMILIH
ILMU HIKMAH
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (4)
Tentu,
tidak etis mengajukan pertanyaan mengapa mbah Sukadi memilih lebih mendalami
ilmu hikmah ketimbang bertafaqquh fiddin sebagaimana umumnya santri yang mondok
di Pesantren Tebuireng. Kendati menurut pengakuannya, mempunyai
"wirid" cepat menangkap, mencerna dan menghapal ilmu apapun.
Laik
disematkan titel jagoan ilmu hikmah. Bisa dimengerti bila silih berganti orang
berdatangan untuk meminta keberkahan dari ilmu hikmahnya. Tak urung hingga
Soekarno--tak sekedar memanfaatkan keahlian memijatnya--bahkan jasa pengawalanpun
dimintakan kepadanya. Lebih jauh lagi, menurut pengakuan mbah Sukadi, turut
berjibaku membebaskan Irian Jaya.
Demikian
tebalnya keyakinan mbah Sukadi akan kedahsyatan ilmu hikmah--mungkin ini
yang lazim disebut dengan ilmu ladunni--bahwa ilmu itu bisa diraih lewat jalur
yang tak biasa yakni amalan tertentu.Thalab al-'ilm lewat jalur tol, meski
seraya berseloroh ditangkis santri dengan mendendangkan bait Alfiah "wafi
ladunni laduni qalla wafi".
Bahkan,
semua terpulang kepada Allah. Yang menurut akal tak mungkin, tapi jika Allah
berkehendak maka akan terwujud. "Kun fayakun", tambah mbah Sukadi
untuk meyakinkan kebenaran motoda tidak konvensional dalam memperoleh ilmu.
Ternyata,
sudah lama fenomena santri tipologi mbah Sukardi. Sejak zaman hadratusy syekh
sudah menyelinap di antara kerumunan santri. Hanya saja, kian ke mari santri
yang khusus menekuni belajar ilmu hikmah semakin memudar.
Seingat
saya, tahun 1970-an masih marak antar santri saling membandingkan dan bahkan
bertukar menukar ilmu hikmah. Contoh kongkrit, adik saya almarhum Syafi'
Abdurrahman Lc, menyimpan buku khusus yang berisi ilmu hikmah yang diperoleh
dari sejumlah kiai. Di antaranya dari kiai yang kondang memberi ijazah,
sebutlah misalnya mbah Ma'shum, kiai Shobari, kiai Syansuri Badawi, kiai
Badjuri. Ini untuk menyebut sebagiannya.
Tak
jarang dijumpai, santri saling berkunjung ke kamar masing masing, berbincang
serius di depan kamar, barter aurad di serambi masjid dan bahkan ngobrol serius
sembari makan di warung ditingkahi pembicaraan perkara ilmu hikmah. Aroma
menyengat santri serius belajar ilmu hikmah biasanya datang dari mereka yang
berasal dari daerah tapal kuda, Madura, Banyuwangi, Cirebon, Banten, Bawean dan
pantura Jawa Tengah dan seterusnya.
Pemandangan
mempraktekkan ilmu hikmah di era mbah Sukadi dan era saya di pesantren
Tebuireng, tentunya sangat berbeda.Termasuk motif dan pemanfaatannya.
Tak bisa dipungkiri, perbedaan itu sangat dipengaruhi oleh kondisi dan
tantangan yang mengitarinya
PENGAWAL
DAN MENGASUH GUS DUR
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (5)
Rupanya
disadari betul oleh mbah Sukadi bahwa dirinya tipikal menolong, melindungi,
menjaga. Selain cara pandang dan lingkungan. Kesadaran inilah agaknya yang
mengantarkan sampai kepada pilihan yang mesti dijadikan fokus dan ditekuni di
pesantren, adreng mendalami ilmu hikmah. Kearena ilmu hikmah bertali kelindan
dengan ketiga peran itu.
Menurut
mbah Sukadi, ada tiga santri dari Kebumen yang seangkatan nyantrinya di
pesantren Tebuireng. Ketiganya pilihannya tafaqquh fiddin, mendalami ilmu
agama. Lumrah, jamak dan ghalib jika mereka bertiga kelak menjadi kiai, mangku
pesantren dan dikenal alim.
Satu di
antara tiga santri Kebumen itu adalah kiai Nasicha dan sekaligus menjadi santri
kepercayaan kiai Hasyim, pengasuh pesantren Salafiyah Wonoyoso dan pendiri
Nahdatul Ulama Kebumen. Khabarnya, NU Kebumen berdiri tak lama setelah NU
didirikan. Ini karena kiai Hasyim mewajibkan santrinya pulang dan mendirikan NU
di daerahnya masing masing. Bisa dipahami mengapa NU berkembang begitu cepat.
Bisa
dimengerti jika saat di dalem kiai Hasyim Asy'ari, mbah Sukadi tidak melulu
sebagai santri yang berfungsi "khodimu hadratisy syekh", namun juga
menjaga keluarga dalem. Termasuk mengasuh Gus Dur. Oleh mbah Sukadi Gus Dur
digambarkan--tangannya memperakan gerakan--"banyak obah"
atau super aktif. Bahkan, mengaku pontang panting dan kewalahan menjaga GD.
Bahkan,
kesukaannya dan perhatiannya kepada ilmu hikmah yang demikian besar. Hal ini
bertaut dengan keberadaannya dan perannya yang begitu penting sebagai pengawal
non protokoler atau swasta yang mesti dibekali oleh ilmu hikmah. Lebih jauh
lagi, tak cukup memungutnya dar pesantren Tebuireng, perlu menambahnya juga
dengan berguru ke pasantren lain. Pernah mengecap dan berguru kepada syaechona
Cholil Bangkalan--meski hanya seminggu--yang memang kondang memiliki ilmu
linuwih.
Menariknya,
serupa dengan perjalanan dari Kebumen ke Tebuireng yang ditempuhnya dengan
berjalan kaki, kepergiannya dari Kebumen munuju Bangkalan Madura dilakoninya
dengan berjalan kaki. Jika Kebumen-Tebuireng ditempuhnya selama tujuh
hari, sementara Kebumen-Bangkalan menyita waktu sepuluh hari.
Cukup
pepak investasi ilmu mbah Sukadi untuk melakoni perannya. Menurut cerita dari
mulut ke mulut, mbah Sukadi "sakti" dan memiliki kemampuan bisa
"menghilang". Dan, cerita ini paralel dan diperkuat oleh bacaan yang
dikutipnya dari salah satu teks al Quran yang sempat terucap di hadapan saya.
Tak
heran bila mbah Sukarni acapkali diminta jasanya untuk mengawal Soekarno,
bahkan hingga sempat diminta mendampingi hingga Kongo, Afrika Tengah.
DAPAT
UANG BERAPA ?
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (6)
Tiba
tiba ada yang menyeruak dan bersuara kencang berteriak. "Dapat uang
berapa, mempopulerkan tukang pijat ?", komentar bernada suudzon yang dialamatkan
ke postingan serial mbah Sukadi murid kiai Hasyim Asy'ari yang saya upload di
FB beberapa hari ini.
Dapat
uang ? Betapa naif, tidak mendasar pada argumen yang kokoh dan sungguh sangat
merendahkan tudingan itu. Apalagi, menimbang motif laku seseorang menakarnya
dengan yang serba uang.
Padahal,
mestinya justru kita yang malu. Alpa, keliru dan khilaf tak mengenali sosok
yang seharusnya dihornati. Kita belajar, menimba ilmu dan pengalamannya. Karena
ternyata, figur itu sangat penting. Murid kiai Hasyim dan juga syech cholil
Bangkalan, dekat dan pernah berperan mengawal Soekarno.
Tentu
saja, mbah Sukadi tak haus puja puji, sanjungan dan dilambungkan namanya agar
tenar. Sehingga jangankan yang berjauhan, tak sedikit yang di lingkungannya tak
memiliki informasi yang lengkap ihwal pribadinya. Yang dikenalnya, mbah Sukadi
dengan embel embel predikat "tukang pijat". Tak heran selalu muncul
ungkapan respon, "oh, mbah Sukadi tukang pijat".
Mbah
Sukadi sendiri, tak pernah memamerkan siapa jati dirinya. Kecenderungannya,
justru yang sejatinya sengaja disembunyikannya. Belakangan saja geger,
ternyata mbah Sukadi murid kiai Hasyim Asy'ari, juga pernah menimba kaweruh
kepada guru ulama nusantara, syech cholil Bangkalan. Bahkan, pengawal non
protokoler Soekarno.
Rupanya,
bagi mbah Sukadi tidak terlalu penting orang di sekitarnya atau orang lain
mengenali betul siapa dirinya, berikut kelebihannya. Mengaca kepada kiai dan
ulama terdahulu, justru meski memiliki ilmu dan kelebihan menjulang, selalu
menyebutkan dirinya orang yang rendah dan tiada berpunya. Di akhir surat dan
karyanya ditulis "al-haqir" atau "al-faqir".
Bukankah
kita pernah membaca kisah sang sufi bergelimang harta, kaya raya, the have.
Pada saat anaknya merajuk dan menuntut agar membangun rumahnya dari yang sangat
sederhana menjadi megah. Sedikitpun tak kesulitan penuhi permintaan itu jika
ayahnya berkehendak.Tapi apa jawaban yang keluar dari mulut ayahnya,
"Kita tak butuh rumah megah dengan sekian kamarnya. Kelak kita tak membawa
apa apa, hanya butuh rumah seluas liang Lahat".
Apalagi,
karena yang jauh lebih utama apa yang ada dalam pandangan Allah, di mata Allah
('indallah).Tak mengapa misalnya bertubi tubi datang cercaan, hinaan,
cacian yang datang dari manusia. Dalam pandangan Allah, ketaqwaan yang membuat
seseorang bersematkan kemulyaan, "inna akramakum 'indallahi atqakum".
Bukan yang dianggap terhormat menurut takaran manusia yang nisbi, relatif dan
cenderung mengukurnya dari sudut yang kasat mata, pragma, materi
TIGA
POTRET SANTRI KIAI HASYIM
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (7)
"Semua
murid hadratusy syekh dadi wong.Tak terhitung yang menjadi kiai, ulama, tokoh,
pejabat dan lainnya. Apa resepnya ? Simak kitab "Adab al-'Alim wa
al-Muta'allim" yang menggambarkan konsep pendidikan kiai Hasyim",
kata kiai Syuhada' Syarif.
Namun
jika mendasar penuturan mbah Sukadi dan sejumlah narasi di berbagai buku yang
membahas kiai Hasyim dan pesantren Tebuireng--dari sudut orientasi santri
belajar di pesantren Tebuireng--ada tiga potret santri kiai Hasyim.
Tentu
juga, merujuk dalam berbagai elaborasi dalam karya karya yang menulis tentang
kiai Hasyim. Mulai tulisan Mohamnad Asad Shihab, Abu Bakar Atjeh, Lathiful
Khuluq, Aguk Irawan hingga Zuhairi Misrawi.
Ada
santri, yang entah dari dorongan dirinya sendiri, orang tua atau gurunya,
memiliki motif yang kuat nyantri di pesantren Tebuireng semata mata tafaqquh
fiddin. Mendalami ilmu agama agar kelak menjadi kiai atau orang yang alim.
Potret santri seperti ini yang lakunya fokus mengaji dan "ngelakoni"
lewat berbagai riyadhah agar mudah menerima dan ilmunya bermanfaat.
Kiai
dan ulama alumni pesantren Tebuireng yang tersebar di nusantara adalah tipologi
santri yang pertama itu. Mereka memilih menekuni ilmu agama secara sungguh
sungguh, tidak tolah toleh, fokus dan selalu hanya memberi perhatian kepada
tafaqquh fiddin.
Ada
yang melulu ingin mendalami ilmu hikmah. Walau yang kedua ini tak sebanyak
pertama. Daur kesantrian dari tipologi ini berputar dari mencari ke sana ke
mari, tak hanya di lingkungan pesantren, namun juga "ngangsu" ilmu
hikmahnya ke luar pesantren.
Tak
tinggi tensi tafaqquh fiddin-nya. Bahkan, belajar kitab ala kadarnya.
Ketekunannya dan waktunya dihabiskan untuk meresapi dan menghayati ilmu hikmah
yang diekspresikan lewat kedekatannya dengan masjid, khususnya di malam hari,
makam dan malam malamnya tiada tidur untuk penguasaan ilmu hikmahnya.
Sementara
ada pula yang ketiga, konvergensi, tafaqquh fiddin dan sekaligus menekuni ilmu
hikmah. Bagi santri model ketiga ini menganggap, jika ilmu agama dikuasai plus
ilmu hikmah, maka akan menjadi santri dan alumni pesantren yang lengkap.
Disadari,
kedalaman dan ketinggian ilmu agama dirasa kurang cukup pada saat hidup di
tengah tengah masyarakat yang majemuk. Dalam hal hal tertentu, kemampuan di
bidang ilmu hikmah besar maknanya. Ilmu hikmah sebagai penyangga bakal
melempangkan jalan dalam beramar ma'ruf dan nahi mungkar