Wednesday, August 2, 2017

Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari

Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (1)
"Nama saya Sukadi.Tidak boleh dirubah ubah. Walau kelak menunaikan ibadah haji, kiai Hasyim berpesan tak boleh diganti", begitulah penjelasan awal saat ditanya ihwal namanya yang begitu singkat, Sukadi.
Jauh dari bayangan saya sebagai murid, dekat dan khidmat hadratusy syekh selama lima tahun di dalem. Tinggal di rumah yang sangat sederhana, penampilannya bersahaja dan busana yang dikenakannya laiknya kiai berjejuluk "kiai kampung". Padahal--untuk ukuran "rural society"--kekayaan mbah Sukadi terhitung lumayan.
"Sudah berumur berapa mbah jenengan sekarang ?", tanya saya berikutnya. "Umur saya 108 tahun. Lahir tahun 1909", jawabnya. Kendati sudah ompong atau giginya tak tersisa alias tanggal semua. Namun dari guratan wajah, fisik, berjalan dan berdirinya tampak begitu sehat dan kuat.
Rupanya mbah Sukadi termasuk yang lazim disebut "santri khusus". Lebih banyak mengais ilmu hikmah, wisdom atau ilmu linuwih kepada kiai Hasyim. Mengalir deras teks hafalannya saat diminta memberi contoh ilmu yang didapatkannya, walau patut disayangkan, tak selembar-pun catatannya tersimpan.
Agaknya, selain mbah Sukadi mengabdikan dirinya menyiapkan keperluan kiai Hasyim, lebih suka menekuni ilmu linuwih.
Mbah Sukadi, dari dalemnya di Kebumen ke Tebuireng selalu berjalan kaki. Biasanya, ditempuh tujuh hari. Dan, rupanya kebiasaan ini selalu dilakukan sepanjang nyantri di Pesantren Tebuireng. Hal ini menguatkan bahwa mbah Sukadi berbeda dengan santri pada umumnya. Tak mengherankan bila kelak diminta menjadi pengawal Soekarno dan melatih pemuda Islam sebagai "pasukan umat Islam"
TAK DIKENAL SANTRI HADRATUSSYEKH
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (2)
Entah ini sengaja ditutup tutupi agar yang mengemuka sebagai ahli pijat dan pengawal Soekarno. Walau mungkin ini cermin dari sikap low profile-nya, ketimbang mendikler atau memamerkan dirinya selaku murid hadratusy syekh. Padahal, justru sebaliknya yang banyak terjadi, kebanggaan dan sekaligus membuka diri dengan menyebut santri pesantren Tebuireng atau murid langsung dari kiai Hasyim.
Mengapa mbah Sukadi seolah lebih dikenal--untuk meminjam terminologi Clifford Geertz dalam Religion of Java-nya--identitas dan berasal muasal dari lingkungan abangan ? Ketimbang sebagai sosok yang pernah nyantri di pesantren Tebuireng atau santri kiai Hasyim ?
Mungkin bisa dirunut dan dijelaskan, kelebihan utama yang populer di khalayak ilmu yang dimiliki adalah memijat dan ilmu linuwih. Tidak aneh, justru melalui posting ini banyak yang baru tahu jika mbah Sukadi merupakan santri kiai Hasyim dan lima tahun nyantri di pesantren Tebuireng. Tidak itu saja, pernah juga mengenyam pesantren lainnya.
Keahlian memijat, bahkan bukan sekedar memainkan jari jemari dan menekan serta mengusap usap fisik pasiennya. Melainkan, mbah Sukadi dengan "titis" atau akurat menunjuk bagian yang sakit dan menyembuhkannya melalui kemampuan ilmu hikmahnya.
Sedangkan kapasitas linuwih-nya hingga sampai ke ketelinga Soekarno. Sehingga mbah Sukadi dipanggil Soekarno tak sekedar lantaran keahliannya memijat, namun juga lantaran ilmu linuwih yang melekat pada dirinya. Di sini, mudah dipahami jika kelak mbah Sukadi memainkan peran sebagai pengawal Soekarno pula.
Pertanyaan yang menggelitik, hubungan dan kedekatan Soekarno-mbah Sukadi berlangsung secara head to head, begitu saja ? Atau justru karena dikenali bahwa Mbah Sukadi murid kiai Hasyim ? Mungkinkah Soekarno menaruh kepercayaan demikian besar kepada mbah Sukadi bila bukan diketahui murid haratusy syekh ?
MBAH SUKADI SOEKARNOIS
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (3)
Perihal kedekatan mbah Sukadi dengan Soekarno tak perlu diragukan lagi. Keluar masuk istana, turut bertaruh nyawa saat merebut Irian Jaya, menjadi pengawal "non protokoler", foto Soekarno yang bergantung dekat pintu masuk dalemnya dan hingga kini lalu lalang dan berdatangan para Soekarnois adalah di antara petunjuk faktual. Menjadi sederet penanda tak terbantahnya hubungan spesial mbah Sukadi-Soekarno.
Keluar masuk dan datang silih berganti para Soekarnois ke dalemnya mbah Sukadi. Meski warna warni motivasinya berbeda beda. Ada yang ingin meneguk spirit nasionalisme, menyimak perjuangan Soekarno hingga mengusik dan demi mengendus di mana "harta karun" Soekarno yang sering menjadi bahan perbincangan disembunyikannya.
Namun kedekatan keduanya tidaklah mekanistik, nir asbab al-nuzul, sepi dari cerita menarik perkenalannya. Agaknya, di tengah kesibukan mbah Sukadi khidmat di dalem kiai Hasyim, tak luput berpapasan dengan silih bergantiannya pejuang kemerdekaan silaturrahim kepada kiai Hasyim.
Goresan, gesekan dan pertemuan dengan pejuang, menyimak perbincangan dan mencermati teladan kesungguhan sang kiai menyemangati dan memberi taushiyah tak urung pula turut memantik semangat berjihad untuk tanah air.
Kendati, masih belum diperoleh informasi yang jelas posisi mbah Sukadi yang basah dialiri jiwa patriotisme apakah kelak sebagai bagian dari Tentara Sukarela Pembela Tanair atau PETA (Kydo Boei Giyugun). Akan halnya di mana posisinya di antara shodanco, budanco dan giyuhei. Atau malah sekedar "sukarelawan lepas" dan berlaku tak ubahnya pengawal pribadi.
Hanya saja, dalam diri mbah Sukadi pertama tama itu "Hasyimiyah". Mula pertama murid dan pengikut kiai Hasyim, stigma Soekarnois yang datang belakang. Bahkan, kedekatan dan sebutan Soekarnois tak mungkin muncul tanpa terlebih dahulu mbah Sukadi nyantri di pesantren Tebuireng, berguru dan khidmat kepada hadratusy syekh
MEMILIH ILMU HIKMAH
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (4)
Tentu, tidak etis mengajukan pertanyaan mengapa mbah Sukadi memilih lebih mendalami ilmu hikmah ketimbang bertafaqquh fiddin sebagaimana umumnya santri yang mondok di Pesantren Tebuireng. Kendati menurut pengakuannya, mempunyai "wirid" cepat menangkap, mencerna dan menghapal ilmu apapun.
Laik disematkan titel jagoan ilmu hikmah. Bisa dimengerti bila silih berganti orang berdatangan untuk meminta keberkahan dari ilmu hikmahnya. Tak urung hingga Soekarno--tak sekedar memanfaatkan keahlian memijatnya--bahkan jasa pengawalanpun dimintakan kepadanya. Lebih jauh lagi, menurut pengakuan mbah Sukadi, turut berjibaku membebaskan Irian Jaya.
Demikian tebalnya keyakinan mbah Sukadi akan kedahsyatan ilmu hikmah--mungkin ini yang lazim disebut dengan ilmu ladunni--bahwa ilmu itu bisa diraih lewat jalur yang tak biasa yakni amalan tertentu.Thalab al-'ilm lewat jalur tol, meski seraya berseloroh ditangkis santri dengan mendendangkan bait Alfiah "wafi ladunni laduni qalla wafi".
Bahkan, semua terpulang kepada Allah. Yang menurut akal tak mungkin, tapi jika Allah berkehendak maka akan terwujud. "Kun fayakun", tambah mbah Sukadi untuk meyakinkan kebenaran motoda tidak konvensional dalam memperoleh ilmu.
Ternyata, sudah lama fenomena santri tipologi mbah Sukardi. Sejak zaman hadratusy syekh sudah menyelinap di antara kerumunan santri. Hanya saja, kian ke mari santri yang khusus menekuni belajar ilmu hikmah semakin memudar.
Seingat saya, tahun 1970-an masih marak antar santri saling membandingkan dan bahkan bertukar menukar ilmu hikmah. Contoh kongkrit, adik saya almarhum Syafi' Abdurrahman Lc, menyimpan buku khusus yang berisi ilmu hikmah yang diperoleh dari sejumlah kiai. Di antaranya dari kiai yang kondang memberi ijazah, sebutlah misalnya mbah Ma'shum, kiai Shobari, kiai Syansuri Badawi, kiai Badjuri. Ini untuk menyebut sebagiannya.
Tak jarang dijumpai, santri saling berkunjung ke kamar masing masing, berbincang serius di depan kamar, barter aurad di serambi masjid dan bahkan ngobrol serius sembari makan di warung ditingkahi pembicaraan perkara ilmu hikmah. Aroma menyengat santri serius belajar ilmu hikmah biasanya datang dari mereka yang berasal dari daerah tapal kuda, Madura, Banyuwangi, Cirebon, Banten, Bawean dan pantura Jawa Tengah dan seterusnya.
Pemandangan mempraktekkan ilmu hikmah di era mbah Sukadi dan era saya di pesantren Tebuireng, tentunya sangat berbeda.Termasuk motif dan pemanfaatannya. Tak bisa dipungkiri, perbedaan itu sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tantangan yang mengitarinya
PENGAWAL DAN MENGASUH GUS DUR
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (5)
Rupanya disadari betul oleh mbah Sukadi bahwa dirinya tipikal menolong, melindungi, menjaga. Selain cara pandang dan lingkungan. Kesadaran inilah agaknya yang mengantarkan sampai kepada pilihan yang mesti dijadikan fokus dan ditekuni di pesantren, adreng mendalami ilmu hikmah. Kearena ilmu hikmah bertali kelindan dengan ketiga peran itu.
Menurut mbah Sukadi, ada tiga santri dari Kebumen yang seangkatan nyantrinya di pesantren Tebuireng. Ketiganya pilihannya tafaqquh fiddin, mendalami ilmu agama. Lumrah, jamak dan ghalib jika mereka bertiga kelak menjadi kiai, mangku pesantren dan dikenal alim.
Satu di antara tiga santri Kebumen itu adalah kiai Nasicha dan sekaligus menjadi santri kepercayaan kiai Hasyim, pengasuh pesantren Salafiyah Wonoyoso dan pendiri Nahdatul Ulama Kebumen. Khabarnya, NU Kebumen berdiri tak lama setelah NU didirikan. Ini karena kiai Hasyim mewajibkan santrinya pulang dan mendirikan NU di daerahnya masing masing. Bisa dipahami mengapa NU berkembang begitu cepat.
Bisa dimengerti jika saat di dalem kiai Hasyim Asy'ari, mbah Sukadi tidak melulu sebagai santri yang berfungsi "khodimu hadratisy syekh", namun juga menjaga keluarga dalem. Termasuk mengasuh Gus Dur. Oleh mbah Sukadi Gus Dur digambarkan--tangannya memperakan gerakan--"banyak obah" atau super aktif. Bahkan, mengaku pontang panting dan kewalahan menjaga GD.
Bahkan, kesukaannya dan perhatiannya kepada ilmu hikmah yang demikian besar. Hal ini bertaut dengan keberadaannya dan perannya yang begitu penting sebagai pengawal non protokoler atau swasta yang mesti dibekali oleh ilmu hikmah. Lebih jauh lagi, tak cukup memungutnya dar pesantren Tebuireng, perlu menambahnya juga dengan berguru ke pasantren lain. Pernah mengecap dan berguru kepada syaechona Cholil Bangkalan--meski hanya seminggu--yang memang kondang memiliki ilmu linuwih.
Menariknya, serupa dengan perjalanan dari Kebumen ke Tebuireng yang ditempuhnya dengan berjalan kaki, kepergiannya dari Kebumen munuju Bangkalan Madura dilakoninya dengan berjalan kaki. Jika Kebumen-Tebuireng ditempuhnya selama tujuh hari, sementara Kebumen-Bangkalan menyita waktu sepuluh hari.
Cukup pepak investasi ilmu mbah Sukadi untuk melakoni perannya. Menurut cerita dari mulut ke mulut, mbah Sukadi "sakti" dan memiliki kemampuan bisa "menghilang". Dan, cerita ini paralel dan diperkuat oleh bacaan yang dikutipnya dari salah satu teks al Quran yang sempat terucap di hadapan saya.
Tak heran bila mbah Sukarni acapkali diminta jasanya untuk mengawal Soekarno, bahkan hingga sempat diminta mendampingi hingga Kongo, Afrika Tengah.
DAPAT UANG BERAPA ?
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (6)
Tiba tiba ada yang menyeruak dan bersuara kencang berteriak. "Dapat uang berapa, mempopulerkan tukang pijat ?", komentar bernada suudzon yang dialamatkan ke postingan serial mbah Sukadi murid kiai Hasyim Asy'ari yang saya upload di FB beberapa hari ini.
Dapat uang ? Betapa naif, tidak mendasar pada argumen yang kokoh dan sungguh sangat merendahkan tudingan itu. Apalagi, menimbang motif laku seseorang menakarnya dengan yang serba uang.
Padahal, mestinya justru kita yang malu. Alpa, keliru dan khilaf tak mengenali sosok yang seharusnya dihornati. Kita belajar, menimba ilmu dan pengalamannya. Karena ternyata, figur itu sangat penting. Murid kiai Hasyim dan juga syech cholil Bangkalan, dekat dan pernah berperan mengawal Soekarno.
Tentu saja, mbah Sukadi tak haus puja puji, sanjungan dan dilambungkan namanya agar tenar. Sehingga jangankan yang berjauhan, tak sedikit yang di lingkungannya tak memiliki informasi yang lengkap ihwal pribadinya. Yang dikenalnya, mbah Sukadi dengan embel embel predikat "tukang pijat". Tak heran selalu muncul ungkapan respon, "oh, mbah Sukadi tukang pijat".
Mbah Sukadi sendiri, tak pernah memamerkan siapa jati dirinya. Kecenderungannya, justru yang sejatinya sengaja disembunyikannya. Belakangan saja geger, ternyata mbah Sukadi murid kiai Hasyim Asy'ari, juga pernah menimba kaweruh kepada guru ulama nusantara, syech cholil Bangkalan. Bahkan, pengawal non protokoler Soekarno.
Rupanya, bagi mbah Sukadi tidak terlalu penting orang di sekitarnya atau orang lain mengenali betul siapa dirinya, berikut kelebihannya. Mengaca kepada kiai dan ulama terdahulu, justru meski memiliki ilmu dan kelebihan menjulang, selalu menyebutkan dirinya orang yang rendah dan tiada berpunya. Di akhir surat dan karyanya ditulis "al-haqir" atau "al-faqir".
Bukankah kita pernah membaca kisah sang sufi bergelimang harta, kaya raya, the have. Pada saat anaknya merajuk dan menuntut agar membangun rumahnya dari yang sangat sederhana menjadi megah. Sedikitpun tak kesulitan penuhi permintaan itu jika ayahnya berkehendak.Tapi apa jawaban yang keluar dari mulut ayahnya, "Kita tak butuh rumah megah dengan sekian kamarnya. Kelak kita tak membawa apa apa, hanya butuh rumah seluas liang Lahat".
Apalagi, karena yang jauh lebih utama apa yang ada dalam pandangan Allah, di mata Allah ('indallah).Tak mengapa misalnya bertubi tubi datang cercaan, hinaan, cacian yang datang dari manusia. Dalam pandangan Allah, ketaqwaan yang membuat seseorang bersematkan kemulyaan, "inna akramakum 'indallahi atqakum". Bukan yang dianggap terhormat menurut takaran manusia yang nisbi, relatif dan cenderung mengukurnya dari sudut yang kasat mata, pragma, materi
TIGA POTRET SANTRI KIAI HASYIM
--Sowan Murid Kiai Hasyim Asy'ari (7)
"Semua murid hadratusy syekh dadi wong.Tak terhitung yang menjadi kiai, ulama, tokoh, pejabat dan lainnya. Apa resepnya ? Simak kitab "Adab al-'Alim wa al-Muta'allim" yang menggambarkan konsep pendidikan kiai Hasyim", kata kiai Syuhada' Syarif.
Namun jika mendasar penuturan mbah Sukadi dan sejumlah narasi di berbagai buku yang membahas kiai Hasyim dan pesantren Tebuireng--dari sudut orientasi santri belajar di pesantren Tebuireng--ada tiga potret santri kiai Hasyim.
Tentu juga, merujuk dalam berbagai elaborasi dalam karya karya yang menulis tentang kiai Hasyim. Mulai tulisan Mohamnad Asad Shihab, Abu Bakar Atjeh, Lathiful Khuluq, Aguk Irawan hingga Zuhairi Misrawi.
Ada santri, yang entah dari dorongan dirinya sendiri, orang tua atau gurunya, memiliki motif yang kuat nyantri di pesantren Tebuireng semata mata tafaqquh fiddin. Mendalami ilmu agama agar kelak menjadi kiai atau orang yang alim. Potret santri seperti ini yang lakunya fokus mengaji dan "ngelakoni" lewat berbagai riyadhah agar mudah menerima dan ilmunya bermanfaat.
Kiai dan ulama alumni pesantren Tebuireng yang tersebar di nusantara adalah tipologi santri yang pertama itu. Mereka memilih menekuni ilmu agama secara sungguh sungguh, tidak tolah toleh, fokus dan selalu hanya memberi perhatian kepada tafaqquh fiddin.
Ada yang melulu ingin mendalami ilmu hikmah. Walau yang kedua ini tak sebanyak pertama. Daur kesantrian dari tipologi ini berputar dari mencari ke sana ke mari, tak hanya di lingkungan pesantren, namun juga "ngangsu" ilmu hikmahnya ke luar pesantren.
Tak tinggi tensi tafaqquh fiddin-nya. Bahkan, belajar kitab ala kadarnya. Ketekunannya dan waktunya dihabiskan untuk meresapi dan menghayati ilmu hikmah yang diekspresikan lewat kedekatannya dengan masjid, khususnya di malam hari, makam dan malam malamnya tiada tidur untuk penguasaan ilmu hikmahnya.
Sementara ada pula yang ketiga, konvergensi, tafaqquh fiddin dan sekaligus menekuni ilmu hikmah. Bagi santri model ketiga ini menganggap, jika ilmu agama dikuasai plus ilmu hikmah, maka akan menjadi santri dan alumni pesantren yang lengkap.

Disadari, kedalaman dan ketinggian ilmu agama dirasa kurang cukup pada saat hidup di tengah tengah masyarakat yang majemuk. Dalam hal hal tertentu, kemampuan di bidang ilmu hikmah besar maknanya. Ilmu hikmah sebagai penyangga bakal melempangkan jalan dalam beramar ma'ruf dan nahi mungkar

No comments:

Post a Comment

Janji Allah Bagi Orang Yang Menikah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Diantara janji Allah bagi orang yang menikah, Allah janjikan kecukupan untuk me...