BIOGRAFI
KH. ABDUL KARIM (1856-1954 M) SANG PENDIRI SEJATI
Bagian 1. (diambil dari buku
Pesantren Lirboyo)*Anak yang Tak Enak
Manab adalah nama kecil KH. Abdul Karim. Putra ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Abdurrohim dan Salamah. Kedua kakaknya juga laki-laki. Yang pertama bernama Aliman yang kelak bermukim di Jatipelem, Diwek, Jombang. Kakak kedua bernama Mu'min yang setelah mengembara, dia tetap tinggal di Jagan, Magelang, bersama adik Manab bernama Armiyah. Adik Manab tersebut dikemudian hari lebih dikenal dengan Mbok Miyo.
Kehidupan keluarga Abdurrohim sudah cukup bahagia kala itu walaupun hanya seorang petani sederhana dengan sepetak sawah. Dia sudah merasa tentram dengan kehadiran Manab dan tiga orang saudaranya. Tapi, tekanan penjajah mencekik petani gurem seperti dirinya. Beban berat begitu terasa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti lazimnya orang tua, ia tidak mau melihat anak-anaknya sengsara. Akhirnya, Abdurrohim mencoba berikhtiar mencari tambahan penghasilan.
Alhamdulillah, rupanya Allah swt. membuka jalan baginya. Abdurrohim yang hanya petani desa itu tergerak hatinya untuk berdagang. Pekerjaan itu belum pernah digelutinya. Dengan modal seadanya, ia mencoba berjuang di Pasar Muntilan yang terletak 10 km arah tenggara Magelang. Pagi buta sebelum fajar menyingsing Abdurrohim sudah berangkat ke pasar sambil memikul dagangannya. Dengan hanya berjalan kaki dan penerang obor, ia telusuri jalan-jalan yang masih gelap dan sunyi. Bahkan, terkadang pula harus melewati hutan untuk mempersingkat perjalanannya. Pendeknya sebuah perjalanan yang sangat berat dan melelahkan.
Pada siang hari, ketika matahari panas membakar, Abdurrohim baru pulang. Bukan lantas istirahat, tapi justru dia meraih cangkul untuk meneruskan pekerjaan sehari-harinya di sawah. Rupanya ia tidak mengenal lelah dalam mengemban tugas sebagai kepala keluarga. Ketekunan dan suka bekerja keras Abdurrohim inilah yang nanti akan diwarisi anak-anaknya
Jerih payah Abdurrohim sedikit2 tampak juga hasilnya. Namun belum sempurna betul membina keluarga sakinah, ia keburu dipanggil Allah Yang Maha Kuasa. Mungkin Allah swt. tdk mengizinkan hasil tetesan keringatnya ia nikmati di dunia ini. Akhirat tentunya lebih baik & abadi. Atau mungkin Allah swt. tidak menghendaki Manab & saudara2nya menjadi anak2 yg ceria, tertawa riang, bermain ke sana ke mari di tengah kenyamanan keluarga. Sebaliknya, mereka harus seperti ayahnya. Merasakan pahit getirnya kehidupan dg menjadi anak2 yatim. Memang, calon orang2 besar hampir tdk ada yg bergelimang dlm kemanjaan keluarga. Manab adalah salah satunya.
Hari demi hari mendung kedukaan perlahan mulai sirna. Salamah, sang istri yg setia mengambil alih tugas almarhum suaminya. Dengan dibantu anak2nya, ibu setengah baya itu meneruskan pekerjaan suaminya berdagang di Pasar Muntilan. Sementara iti, Manab bukan hanya membantu ibunda di pasar, namun sehabis di pasar, dia masih menyabit rumput utk kuda peninggalan ayahnya. Dalam usia yg masih belia, ia sudah menunjukkan ketekunannya. Bahkan, konon ia tidak pernah menolak perintah ibunya.
Beberapa tahun kemudian, Ny. Salamah menikah lagi. Rupanya dia menyadari kodratnya sebagai wanita. Walaupun mampu menegakkan ekonomi keluarga, namun ia merasa tak layak menjadi kepala rumah tangga. Apalagi, putra2nya masih kecil yg tentu masih banyak membutuhkan perhatian & kasih sayang. Dari perkawinan kedua inilah Ny. Salamah dikaruniai seorang putra bernama Muji dan dua orang putri bernama Isnaini dan Siyem.
Meskipun sudah ada pengganti almarhum ayahnya, Manab tetap saja yatim. Dia tidak melalaikan tugasnya. Bahkan, ia yg belum baligh itu mampu berpikir jauh. Tumpuan harapannya tidak lain dirinya sendiri. Ia ingin berdiri di atas kaki sendiri. Ia ingin mandiri. Sehingga, disaat usianya masih muda, Manab sudah punya keinginan untuk mengembara. Dia ingin meniru Kan Aliman & Kang Mu'min, dua kakaknya yg lebih dulu berkelana utk menuntut ilmu & mencari kehidupan baru.
*Tak Bernasab
Tinggi, Ilmu Pun Jadi.
Keinginan Manab utk mengembara dan menuntut ilmu nampaknya kian menggebu setelah dia mengetahui karisma alim ulama pengikut Pangeran Diponegoro. Misalnya Kiai Imam Rofi'i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas, Kiai Mlangi dari Sleman, dll. Manab begitu kagum, hanya karena kedalaman ilmu agama para ulama, Belanda sangat takut menghadapi mereka.
Terbesit cita2 luhur di hati Manab ingin mencontoh tindak lampah ulama. Dia ingin tahu ilmu agama secara mendalam, ia seperti tidak rela menjadi orang biasa. Walaupun sebenarnya Manab sadar bahwa ia hanya anak seorang petani, tapi ia yakin bahwa keturunan sejati adalah keturunan sesudahnya, bukan sebelumnya. "Inilah saya, bukan inilah ayah saya". Begitulah motto Manab. Baginya, nasab tidaklah penting. Yang penting adalah ilmu.
Akhirnya, pucuk dipinta ulam pun tiba. Aliman, kakak Manab yg telah merantau ketika pulang ke Magelang menengok keluarganya. Ia juga bermaksud mengajak pergi Manab yg saat itu berusia sekitar 14 tahun. Betapa gembira hati Manab. Keinginan yg selama ini terpendam, yakni meninggalkan kampung halaman litholibil ilmi (demi menuntut ilmu), alhamdulillah terlaksana juga. Apalagi setelah Belanda kian melancarkan penangkapan2 terhadap pemuda kader2 ulama, hati Manab semakin berontak saja utk secepatnya meninggalkan Magelang.
Setelah mendapatkan restu orang tuanya, berangkatlah Manab bersama kakaknya. Mereka memilih melakukan perjalanan ke Jawa Timur karena konon banyak ulama yg menyingkir ke daerah ini. Saat itu, tarikh (sejarah) menunjukkan tahun 1870 M. Tentu, sarana transportasi masih sangat langka. Tapi, itu tidak memupuskan semangat Manab. Justru itu merupakan tantangan awal yg mesti dihadapi.
Hanya dengan berjalan kaki, mereka melakukan perjalanan ratusan kilometer. Setelah long march yg sangat berat dan melelahkan, sampailah mereka pada sebuah dusun di Gurah, Kediri. Namanya Babadan. Di dusun inilah, mereka menemukan surau yg diasuh oleh seorang kiai. Juga di tempat yg amat sederhana ini, Manab mulai nyantri, dengan memelajari ilmu2 dasar, seperti ilmu amaliyah sehari-hari.
Mulailah babak baru bagi Manab. Di rantau, dia menuntut ilmu. Ada kedamaian dan kebahagiaan yg belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi, betapa pun ia juga harus memikirkan bekal sehari-hari. Maklum, perbekalan yg dibawa dari rumah sudah habis di perjalanan. Akhirnya, Manab bersama kakaknya mesti membagi waktu ikut mengetam padi menjadi buruh warga desa saat panen tiba.
Keinginan Manab utk mengembara dan menuntut ilmu nampaknya kian menggebu setelah dia mengetahui karisma alim ulama pengikut Pangeran Diponegoro. Misalnya Kiai Imam Rofi'i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas, Kiai Mlangi dari Sleman, dll. Manab begitu kagum, hanya karena kedalaman ilmu agama para ulama, Belanda sangat takut menghadapi mereka.
Terbesit cita2 luhur di hati Manab ingin mencontoh tindak lampah ulama. Dia ingin tahu ilmu agama secara mendalam, ia seperti tidak rela menjadi orang biasa. Walaupun sebenarnya Manab sadar bahwa ia hanya anak seorang petani, tapi ia yakin bahwa keturunan sejati adalah keturunan sesudahnya, bukan sebelumnya. "Inilah saya, bukan inilah ayah saya". Begitulah motto Manab. Baginya, nasab tidaklah penting. Yang penting adalah ilmu.
Akhirnya, pucuk dipinta ulam pun tiba. Aliman, kakak Manab yg telah merantau ketika pulang ke Magelang menengok keluarganya. Ia juga bermaksud mengajak pergi Manab yg saat itu berusia sekitar 14 tahun. Betapa gembira hati Manab. Keinginan yg selama ini terpendam, yakni meninggalkan kampung halaman litholibil ilmi (demi menuntut ilmu), alhamdulillah terlaksana juga. Apalagi setelah Belanda kian melancarkan penangkapan2 terhadap pemuda kader2 ulama, hati Manab semakin berontak saja utk secepatnya meninggalkan Magelang.
Setelah mendapatkan restu orang tuanya, berangkatlah Manab bersama kakaknya. Mereka memilih melakukan perjalanan ke Jawa Timur karena konon banyak ulama yg menyingkir ke daerah ini. Saat itu, tarikh (sejarah) menunjukkan tahun 1870 M. Tentu, sarana transportasi masih sangat langka. Tapi, itu tidak memupuskan semangat Manab. Justru itu merupakan tantangan awal yg mesti dihadapi.
Hanya dengan berjalan kaki, mereka melakukan perjalanan ratusan kilometer. Setelah long march yg sangat berat dan melelahkan, sampailah mereka pada sebuah dusun di Gurah, Kediri. Namanya Babadan. Di dusun inilah, mereka menemukan surau yg diasuh oleh seorang kiai. Juga di tempat yg amat sederhana ini, Manab mulai nyantri, dengan memelajari ilmu2 dasar, seperti ilmu amaliyah sehari-hari.
Mulailah babak baru bagi Manab. Di rantau, dia menuntut ilmu. Ada kedamaian dan kebahagiaan yg belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi, betapa pun ia juga harus memikirkan bekal sehari-hari. Maklum, perbekalan yg dibawa dari rumah sudah habis di perjalanan. Akhirnya, Manab bersama kakaknya mesti membagi waktu ikut mengetam padi menjadi buruh warga desa saat panen tiba.
Setelah dirasa
cukup singgah di Babadan ini, mereka meneruskan pengembaraannya. Mereka pindah
di sebuah pesantren yg terletak di Cempoko, 20 km sebelah selatan Nganjuk.
Menurut sebuah riwayat, Manab cukup lama belajar sekaligus bekerja di pesantren
ini. Kurang lebih 6 tahun. Kemudian, mereka pindah lagi ke Pesantren Trayang,
Bangsri, Kertosono. Di pesantren ini, Manab memperdalam Al-Qur'an dengan baik.
Kian beranjak dewasa, Manab pun semakin bertambah tekun mengaji. Seakan dia tidak puas dengan hanya satu atau dua pesantren saja. Masih bersama kakaknya, Aliman, ia meneruskan pengembaraan ilmiahnya. Melanjutkan perjalanan ke arah timur. Seolah-olah Manab akan mengejar ke mana saja ilmu itu tersembunyi walau sampai ke negeri Cina, bahkan hingga ke ujung dunia.
Sesampainya di daerah Sidoarjo, dua bersaudara itu singgah di Sono, sebuah pesantren yg terkenal dengan ilmu sharafnya. Cukup lama Manab mondok di Pesantren Sono. Hampir tujuh tahun. Di sini, Manab sudah tidak bekerja lagi. Seluruh kebutuhannya ditanggung oleh kakaknya. Sang kakak merasa sayang jika waktu Manab tersita untuk bekerja karena Manab cukup rajin mengaji. Dalam waktu singkat, kitab2 dasar nahwu sharaf telah dikuasai dengan baik.
Sebagai ungkapan terimakasihnya kepada sang kakak, Manab bertambah semangat belajar. Ia gunakan waktu sebaik-baiknya, hanya untuk belajar semata, ia tdk ingin mengecewakan sang kakak. Bahkan sampai Manab menjadi salah seorang ulama terkenal kelak, beliau masih ingat akan jasa kakaknya. Hal ini pernah diceritakan kepada cucu tertua beliau, Agus Ahmad Hafidz, bahwa kesantrian beliau juga karena sang kakak. "Aku isa nyantri ya krana diangkat kakangku" (aku bisa mesantren karena diangkat kakakku), kata beliau merendah.
Penguasaan Manab atas kitab2 dasar nahwu sharaf semakin membesarkan himmahnya utk mempelajari kitab2 yg lebih tinggi semacam Alfiyah Ibnu Malik. Kitab patokan resmi pesantren. Menguasai kitab 1002 bait syair nahwu sharaf ini berarti jaminan utk menguasai literatur pesantren, yakni kitab kuning. Manab memang senang sekali mempelajari cabang ilmu nahwu sharaf sebagai kegemaran karena sharaf ibarat ibunya ilmu, sedang nahwu ayahnya ilmu.
Kegemaran yg menggebu itulah yg membuat Manab ingin pindah. Dia ingin mencari pesantren yg lebih tua lagi. Dan tersiar kabar saat itu bahwa di Madura terdapat pesantren yg cukup terkenal, yaitu Pesantren Bangkalan dengan kiainya yg alim allamah. Namanya Kiai Kholil.
Kian beranjak dewasa, Manab pun semakin bertambah tekun mengaji. Seakan dia tidak puas dengan hanya satu atau dua pesantren saja. Masih bersama kakaknya, Aliman, ia meneruskan pengembaraan ilmiahnya. Melanjutkan perjalanan ke arah timur. Seolah-olah Manab akan mengejar ke mana saja ilmu itu tersembunyi walau sampai ke negeri Cina, bahkan hingga ke ujung dunia.
Sesampainya di daerah Sidoarjo, dua bersaudara itu singgah di Sono, sebuah pesantren yg terkenal dengan ilmu sharafnya. Cukup lama Manab mondok di Pesantren Sono. Hampir tujuh tahun. Di sini, Manab sudah tidak bekerja lagi. Seluruh kebutuhannya ditanggung oleh kakaknya. Sang kakak merasa sayang jika waktu Manab tersita untuk bekerja karena Manab cukup rajin mengaji. Dalam waktu singkat, kitab2 dasar nahwu sharaf telah dikuasai dengan baik.
Sebagai ungkapan terimakasihnya kepada sang kakak, Manab bertambah semangat belajar. Ia gunakan waktu sebaik-baiknya, hanya untuk belajar semata, ia tdk ingin mengecewakan sang kakak. Bahkan sampai Manab menjadi salah seorang ulama terkenal kelak, beliau masih ingat akan jasa kakaknya. Hal ini pernah diceritakan kepada cucu tertua beliau, Agus Ahmad Hafidz, bahwa kesantrian beliau juga karena sang kakak. "Aku isa nyantri ya krana diangkat kakangku" (aku bisa mesantren karena diangkat kakakku), kata beliau merendah.
Penguasaan Manab atas kitab2 dasar nahwu sharaf semakin membesarkan himmahnya utk mempelajari kitab2 yg lebih tinggi semacam Alfiyah Ibnu Malik. Kitab patokan resmi pesantren. Menguasai kitab 1002 bait syair nahwu sharaf ini berarti jaminan utk menguasai literatur pesantren, yakni kitab kuning. Manab memang senang sekali mempelajari cabang ilmu nahwu sharaf sebagai kegemaran karena sharaf ibarat ibunya ilmu, sedang nahwu ayahnya ilmu.
Kegemaran yg menggebu itulah yg membuat Manab ingin pindah. Dia ingin mencari pesantren yg lebih tua lagi. Dan tersiar kabar saat itu bahwa di Madura terdapat pesantren yg cukup terkenal, yaitu Pesantren Bangkalan dengan kiainya yg alim allamah. Namanya Kiai Kholil.
*Ke Pulau Garam
Menjadi Garam.
Ulama itu bagaikan garam. Begitu sebuah perumpamaan. Antara ulama & garam ada sisi kesamaan. Keduanya selalu dibutuhkan umat. Tanpa garam, rasa jadi hambar. Tanpa ulama, umat jadi gersang. Madura sebagai pulau garam tersohor pula "garam2" mulianya. Itu murid2 Kiai Kholil yg jadi ulama2 jawara di Tanah Jawa.
Alhamdulillah, keinginan Manab utk menjadi murid Kiai Kholil terlaksana juga. Setelah beberapa saat mondok di Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Sidoarjo, tahun 1896 M dia menyeberang meninggalkan Jawa. Sesampai di Madura yg panas & gersang itu, semangat Manab kian terbakar. Udara Madura yg menyengat itu kian menambah hausnya Manab meneguk ilmu Kiai Kholil yg sangat alim hampir dlm semua cabang ilmu, baik fikih, tafsir, hadis, maupun tasawuf.
Menjadi santri Kiai Kholil yg terkenal sebagai wali itu ternyata tidaklah mudah. Berbagai ujian, baik lahiriah maupun batiniah, mesti dijalani. Cobaan yg kadang tdk masuk akal harus diterima. Demikian pula dg Manab. Ia tak luput dari berbagi ujian sang guru.
Ketika Manab ingin bekerja utk memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti sebelum di Madura, dia bersama sahabatnya, Abdulloh Faqih, dari Cemara, Banyuwangi, berangkat ke daerah sekitar Banyuwangi dan Jember utk ikut mengetam padi. Namun, setelah bersusah payah melakukan perjalanan yg cukup jauh, sesampai di Bangkalan terjadilah hal yg sangat mengejutkan. Ternyata Kiai Kholil menghendaki padi hasil kerja Manab itu utk makanan ternaknya. "Peneran Nab, tak nggone pakan pitikku" ( Kebetulan Nab, padinya buat pakan ayam saya), kata Kiai Kholil. Rupanya, Kiai Kholil tidak mengizinkan Manab bekerja. Sebagai gantinya, ia disuruh memetik daun pace yg tumbuh di sekitar pondok utk makanan sehari-hari.
Kecewakah Manab?Tidak. Sedikit pun dia tidak kecewa. Bukan pemuda Manab jika tidak kuat mengahadapi ujian itu. Perintah Sang Kiai utk makan daun pace rebus itu dijalni dg tabah. Bahkan, sering pula ia harus makan sisa kerak nasi teman2nya atau kadang ampas kelapa. Tapi semua itu tidak pernah ia keluhkan. Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini. Jarang orang yg tahu.
Karena ketabahan Manab yg mengagumkan inilah pernah terjadi hal yg cukup tragis. Di bulan suci Ramadhan, kala Manab sedang mengikuti pengajian tafsir Jalalain, dia jatuh pingsan. Mengapa itu sampai terjadi pada Manab? Semua dikira karena kepanasan lantaran panas matahari waktu itu memang begitu menyengat, sedang Manab tdk mendapatkan tempat yg teduh karena sedikit terlambat. Tapi setelah diselidiki, ternyata ia terlalu lapar. Sewaktu berbuka mungkin ia tidak menyantap makanan. Bahkan. Ketika sahur, ia juga tidak menemukan sesuatu utk mengganjal perut.
Dalam berpakaian pun keprihatinan Manab membuat orang lain trenyuh. Dia hanya mempunyai sepotong pakaian yg melekat pada tubuhnya. Kalau pakaian satu2nya itu dicuci, terpaksa ia harus menunggu kering dg berendam dlm air. Anehnya, justru saat berendam itulah Manab menghafal Alfiyah. Ia dendangkan syair2 bernada rajaz itu dg syahdu seakan tak merasakan kegetiran hidup yg menerpanya. Bagi Manab cobaan & ujian dlm menuntut ilmu itu dirasakannya bukan suatu penderitaan, tapi justru kenikmatan dari sebuah kehidupan. Ia yakin bahwa cobaan yg ditimpakan kpd seoarang muslim bukanlah adzab, tetapi sebagai bukti kecintaan Allah swt. kepada hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, Manab menjalani hari2 panjang yg penuh penderitaan itu dg tabah.
Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, & tahun ke tahun. Tidak terasa hampir 23 tahun Manab bermukim di Madura. Kesungguhannya dlm menuntut ilmu telah membuat tinggi pengetahuan agamanya. Tua ilmunya seiring dg tuanya usia yg kala itu sudah lebih dari 40 tahun. Pribadinya telah mencerminkan sosok seorang yg alim. Figur seorang kiai. Sehingga, wajarlah jika saat itu teman2nya menempatkan Manab sebagai seorang kiai. Tempat utk bertanya, minta pendapat, bahkan tempat berguru. Salah seorang kiai yg dulu pernah berguru pada Kiai Manab adalah K. Faqih dari Patik, Brebel, Nganjuk.
Ulama itu bagaikan garam. Begitu sebuah perumpamaan. Antara ulama & garam ada sisi kesamaan. Keduanya selalu dibutuhkan umat. Tanpa garam, rasa jadi hambar. Tanpa ulama, umat jadi gersang. Madura sebagai pulau garam tersohor pula "garam2" mulianya. Itu murid2 Kiai Kholil yg jadi ulama2 jawara di Tanah Jawa.
Alhamdulillah, keinginan Manab utk menjadi murid Kiai Kholil terlaksana juga. Setelah beberapa saat mondok di Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Sidoarjo, tahun 1896 M dia menyeberang meninggalkan Jawa. Sesampai di Madura yg panas & gersang itu, semangat Manab kian terbakar. Udara Madura yg menyengat itu kian menambah hausnya Manab meneguk ilmu Kiai Kholil yg sangat alim hampir dlm semua cabang ilmu, baik fikih, tafsir, hadis, maupun tasawuf.
Menjadi santri Kiai Kholil yg terkenal sebagai wali itu ternyata tidaklah mudah. Berbagai ujian, baik lahiriah maupun batiniah, mesti dijalani. Cobaan yg kadang tdk masuk akal harus diterima. Demikian pula dg Manab. Ia tak luput dari berbagi ujian sang guru.
Ketika Manab ingin bekerja utk memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti sebelum di Madura, dia bersama sahabatnya, Abdulloh Faqih, dari Cemara, Banyuwangi, berangkat ke daerah sekitar Banyuwangi dan Jember utk ikut mengetam padi. Namun, setelah bersusah payah melakukan perjalanan yg cukup jauh, sesampai di Bangkalan terjadilah hal yg sangat mengejutkan. Ternyata Kiai Kholil menghendaki padi hasil kerja Manab itu utk makanan ternaknya. "Peneran Nab, tak nggone pakan pitikku" ( Kebetulan Nab, padinya buat pakan ayam saya), kata Kiai Kholil. Rupanya, Kiai Kholil tidak mengizinkan Manab bekerja. Sebagai gantinya, ia disuruh memetik daun pace yg tumbuh di sekitar pondok utk makanan sehari-hari.
Kecewakah Manab?Tidak. Sedikit pun dia tidak kecewa. Bukan pemuda Manab jika tidak kuat mengahadapi ujian itu. Perintah Sang Kiai utk makan daun pace rebus itu dijalni dg tabah. Bahkan, sering pula ia harus makan sisa kerak nasi teman2nya atau kadang ampas kelapa. Tapi semua itu tidak pernah ia keluhkan. Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini. Jarang orang yg tahu.
Karena ketabahan Manab yg mengagumkan inilah pernah terjadi hal yg cukup tragis. Di bulan suci Ramadhan, kala Manab sedang mengikuti pengajian tafsir Jalalain, dia jatuh pingsan. Mengapa itu sampai terjadi pada Manab? Semua dikira karena kepanasan lantaran panas matahari waktu itu memang begitu menyengat, sedang Manab tdk mendapatkan tempat yg teduh karena sedikit terlambat. Tapi setelah diselidiki, ternyata ia terlalu lapar. Sewaktu berbuka mungkin ia tidak menyantap makanan. Bahkan. Ketika sahur, ia juga tidak menemukan sesuatu utk mengganjal perut.
Dalam berpakaian pun keprihatinan Manab membuat orang lain trenyuh. Dia hanya mempunyai sepotong pakaian yg melekat pada tubuhnya. Kalau pakaian satu2nya itu dicuci, terpaksa ia harus menunggu kering dg berendam dlm air. Anehnya, justru saat berendam itulah Manab menghafal Alfiyah. Ia dendangkan syair2 bernada rajaz itu dg syahdu seakan tak merasakan kegetiran hidup yg menerpanya. Bagi Manab cobaan & ujian dlm menuntut ilmu itu dirasakannya bukan suatu penderitaan, tapi justru kenikmatan dari sebuah kehidupan. Ia yakin bahwa cobaan yg ditimpakan kpd seoarang muslim bukanlah adzab, tetapi sebagai bukti kecintaan Allah swt. kepada hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, Manab menjalani hari2 panjang yg penuh penderitaan itu dg tabah.
Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, & tahun ke tahun. Tidak terasa hampir 23 tahun Manab bermukim di Madura. Kesungguhannya dlm menuntut ilmu telah membuat tinggi pengetahuan agamanya. Tua ilmunya seiring dg tuanya usia yg kala itu sudah lebih dari 40 tahun. Pribadinya telah mencerminkan sosok seorang yg alim. Figur seorang kiai. Sehingga, wajarlah jika saat itu teman2nya menempatkan Manab sebagai seorang kiai. Tempat utk bertanya, minta pendapat, bahkan tempat berguru. Salah seorang kiai yg dulu pernah berguru pada Kiai Manab adalah K. Faqih dari Patik, Brebel, Nganjuk.
*Tak Ada Kitab,
Ada Siasat.
Bila seseorang makin luas ilmunya, tentu makin banyak membutuhkan bahan kajian yg lebih beragam pula. Seperti Kiai Manab. Karena penguasaan ilmu agama yg kian matang, beliau juga semakin membutuhkan berbagai macam kitab utk mutholaah. Padahal, itu bukanlah masalah mudah sebab utk kebutuhan sehari-hari saja jarang ada. Tapi, berkat keuletan beliau, masalah kitab2 itu akhirnya dapat diatasi.
Kiai Manab , melakukan barter kitab. Kitab2 yg telah dipahami tuntas beliau tukarkan dg kitab2 baru milik temannya. Kadang langsung beliau jual kemudian dibelikan kitab yg baru. Mungkin jika bukan milik Kiai Manab, kitab usang semacam itu tdk akan laku. Tapi karena kealiman pemiliknya, justru santri yg mendapatkan kitab bekas itu sangat gembira sekali.
Bahkan hanya karena ingin mempunyai dua buah kitab, Kiai Manab pernah berjalan ratusan kilometer. Ketika itu, beliau menjenguk keluarga di Magelang. Saat menjelang kembali ke pondok, Sang Ibunda, Salamah, memberi bekal uang sebesar lima rupiah utk naik kereta api. Tapi, karena beliau sangat membutuhkan kitab, uang tersebut justru digunakan utk membeli dua buah kitab, yaitu Minhajul Qowim dan Ibnu Aqil. Demi dua buah kitab tersebut, Kiai Manab bersedia melepaskan kursi kereta api diganti berjalan kaki.
Bila seseorang makin luas ilmunya, tentu makin banyak membutuhkan bahan kajian yg lebih beragam pula. Seperti Kiai Manab. Karena penguasaan ilmu agama yg kian matang, beliau juga semakin membutuhkan berbagai macam kitab utk mutholaah. Padahal, itu bukanlah masalah mudah sebab utk kebutuhan sehari-hari saja jarang ada. Tapi, berkat keuletan beliau, masalah kitab2 itu akhirnya dapat diatasi.
Kiai Manab , melakukan barter kitab. Kitab2 yg telah dipahami tuntas beliau tukarkan dg kitab2 baru milik temannya. Kadang langsung beliau jual kemudian dibelikan kitab yg baru. Mungkin jika bukan milik Kiai Manab, kitab usang semacam itu tdk akan laku. Tapi karena kealiman pemiliknya, justru santri yg mendapatkan kitab bekas itu sangat gembira sekali.
Bahkan hanya karena ingin mempunyai dua buah kitab, Kiai Manab pernah berjalan ratusan kilometer. Ketika itu, beliau menjenguk keluarga di Magelang. Saat menjelang kembali ke pondok, Sang Ibunda, Salamah, memberi bekal uang sebesar lima rupiah utk naik kereta api. Tapi, karena beliau sangat membutuhkan kitab, uang tersebut justru digunakan utk membeli dua buah kitab, yaitu Minhajul Qowim dan Ibnu Aqil. Demi dua buah kitab tersebut, Kiai Manab bersedia melepaskan kursi kereta api diganti berjalan kaki.
*Dari Bangkalan ke
Pelaminan.
Selepas abad sembilan belas, usia Kiai Manab hampir setengah abad. Usia yg menunjukkan keluasan ilmu & pengalaman hidup. Beberapa pesantren pernah beliau singgahi. Misalnya Babadan, Cepoko, Trayang, Sono, Kedungdoro, Bangkalan dan Tebuireng. Ini menunjukkan bahwa Kiai Manab bukan hanya alim, tapi sudah alim allamah. Kiai Kholil tentunya lebih tahu hal itu. Beliau merasa Manab telah mencapai puncak & menemukan jati dirinya. Beliau meminta agar Manab meninggalkan Bangkalan & segera pulang menyebarkan ilmunya di masyarakat. Beliau merasa ilmunya telah terkuras habis, "Nab, balia, ilmuku wis entek..." (Nab, pulanglah, ilmuku sudah habis...), begitu perintah Kiai Kholil kepada Manab.
Bagi Manab perintah itu cukup menghujam dlm benaknya. Bagaimana tidak. Manab sebenarnya masih ingin tetap di Bangkalan. Masih merasa dahaga ilmu agama. Namun, karena sadar yg menyuruh pulang adalah gurunya yg lebih tahu mana yg lebih baik utk dirinya, akhirnya Manab pulang juga meninggalkan Bangkalan dg rasa ikhlas.
Ternyata, kepatuhan & keikhlasan itu berbuah juga. Sesampai di Jawa, Kiai Manab mendengar bahwa salah seorang sahabatnya kala mondok di Madura, yakni Kiai Hasyim Asy'ari telah tiga tahun membina sebuah pesantren di Tebuireng, Jombang. Kiai Manab yg belum lama pulang dari Bangkalan rupanya tertarik utk singgah di pesantren yg diasuh oleh rekan satu almamater yg ahli dlm ilmu hadis tersebut.
Setelah kurang lebih 5 tahun Kiai Manab nyantri di Tebuireng, belum juga beliau berhasrat melepas masa lajangnya. Padahal, usia beliau sudah melebihi pantas utk berkeluarga. Mungkin saking asyiknya menuntut ilmu. Tapi, tdk begitu lama & tanpa diduga-duga, datanglah seorang kiai dari Pare, Kediri, mengajukan lamaran kpd Kiai Hasyim. Tapi dg halus, lamaran itu ditolak, sebab diam2 beliau ingin menjodohkan Kiai Manab dg salah seoarang putri kerabatnya, yakni Kiai Sholeh, dari Banjarmelati, Kediri.
Mungkin karena khawatir didahului orang lain, Kiai Hasyim lantas segera mengutus Agus Ahmad, salah seorang santri yg juga ipar beliau & masih keponakan Kiai Sholeh, utk sowan ke Banjarmelati. Tujuannya meminta keterangan apakah Kiai Sholeh masih mempunyai anak gadis yg belum menikah.
Ternyata jawaban dari Banjarmelati cukup memuaskan Kiai Hasyim. Tanpa membuang waktu, beliau langsung mengutus Gus Ahmad ke Banjarmelati lagi utk mengantarkan surat lamaran kpd Kiai Sholeh. Bahkan, Kiai Hasyim meminta Gus Ahmad menunggu jawaban lamaran itu sebelum kembali ke Tebuireng. Namun, apa mau dikata, Kiai Sholeh tidak mau memberikannya. Beliau ingin bertemu langsung dg Kiai Hasyim Asy'ari & sekaligus Kiai Manab.
Tak lama kemudian, selang beberapa hari setelah idul fitri, Kiai Sholeh sowan ke Jombang dg membawa jawaban yg sungguh menggembirakan. Lamaran tsb beliau terima dg senang hati. Bahkan, saat itu juga, dicapai kesepakatan utk segera dilaksanakan pernikahan antara Kiai Manab dg putri Kiai Sholeh. Tapi, karena di bulan syawal masih banyak kesibukan, pernikahan itu ditunda empat bulan kemudian, tepatnya 8 Shafar 1328/1908.
Hari bahagia nan berkah akad nikah antara kiai & putri seorang kiai berlangsung di khidmat. Kiai Manab, yg saat itu berusia 50 tahun lebih, naik pelaminan menyunting dara ayu, Khodijah Binti Kiai Sholeh, yg masih berumur 15 tahun. Sungguh pasangan yg jauh dari serasi. Namun, berkat restu orang tua dan guru, cinta suci bersemi pula. Maka, berbahagialah mereka.
Tapi, kebahagiaan itu tdk menghadirkan kemeriahan layaknya sebuah pesta perkawainan sebab perniakahan itu hanya dilangsungkan secara sederhana, iktifaan. Kiai Manab hanya diantar oleh rekan2nya yg berjumlah 12 orang. Diantaranya Kiai Abas dan kakaknya, Kiai Anas dari Buntet Cirebon, dan Gus Ahmad. Bahkan, begitu sederhananya pernikahan itu, keluarga Kiai Manab di Magelang tidak mengetahui.
Selepas abad sembilan belas, usia Kiai Manab hampir setengah abad. Usia yg menunjukkan keluasan ilmu & pengalaman hidup. Beberapa pesantren pernah beliau singgahi. Misalnya Babadan, Cepoko, Trayang, Sono, Kedungdoro, Bangkalan dan Tebuireng. Ini menunjukkan bahwa Kiai Manab bukan hanya alim, tapi sudah alim allamah. Kiai Kholil tentunya lebih tahu hal itu. Beliau merasa Manab telah mencapai puncak & menemukan jati dirinya. Beliau meminta agar Manab meninggalkan Bangkalan & segera pulang menyebarkan ilmunya di masyarakat. Beliau merasa ilmunya telah terkuras habis, "Nab, balia, ilmuku wis entek..." (Nab, pulanglah, ilmuku sudah habis...), begitu perintah Kiai Kholil kepada Manab.
Bagi Manab perintah itu cukup menghujam dlm benaknya. Bagaimana tidak. Manab sebenarnya masih ingin tetap di Bangkalan. Masih merasa dahaga ilmu agama. Namun, karena sadar yg menyuruh pulang adalah gurunya yg lebih tahu mana yg lebih baik utk dirinya, akhirnya Manab pulang juga meninggalkan Bangkalan dg rasa ikhlas.
Ternyata, kepatuhan & keikhlasan itu berbuah juga. Sesampai di Jawa, Kiai Manab mendengar bahwa salah seorang sahabatnya kala mondok di Madura, yakni Kiai Hasyim Asy'ari telah tiga tahun membina sebuah pesantren di Tebuireng, Jombang. Kiai Manab yg belum lama pulang dari Bangkalan rupanya tertarik utk singgah di pesantren yg diasuh oleh rekan satu almamater yg ahli dlm ilmu hadis tersebut.
Setelah kurang lebih 5 tahun Kiai Manab nyantri di Tebuireng, belum juga beliau berhasrat melepas masa lajangnya. Padahal, usia beliau sudah melebihi pantas utk berkeluarga. Mungkin saking asyiknya menuntut ilmu. Tapi, tdk begitu lama & tanpa diduga-duga, datanglah seorang kiai dari Pare, Kediri, mengajukan lamaran kpd Kiai Hasyim. Tapi dg halus, lamaran itu ditolak, sebab diam2 beliau ingin menjodohkan Kiai Manab dg salah seoarang putri kerabatnya, yakni Kiai Sholeh, dari Banjarmelati, Kediri.
Mungkin karena khawatir didahului orang lain, Kiai Hasyim lantas segera mengutus Agus Ahmad, salah seorang santri yg juga ipar beliau & masih keponakan Kiai Sholeh, utk sowan ke Banjarmelati. Tujuannya meminta keterangan apakah Kiai Sholeh masih mempunyai anak gadis yg belum menikah.
Ternyata jawaban dari Banjarmelati cukup memuaskan Kiai Hasyim. Tanpa membuang waktu, beliau langsung mengutus Gus Ahmad ke Banjarmelati lagi utk mengantarkan surat lamaran kpd Kiai Sholeh. Bahkan, Kiai Hasyim meminta Gus Ahmad menunggu jawaban lamaran itu sebelum kembali ke Tebuireng. Namun, apa mau dikata, Kiai Sholeh tidak mau memberikannya. Beliau ingin bertemu langsung dg Kiai Hasyim Asy'ari & sekaligus Kiai Manab.
Tak lama kemudian, selang beberapa hari setelah idul fitri, Kiai Sholeh sowan ke Jombang dg membawa jawaban yg sungguh menggembirakan. Lamaran tsb beliau terima dg senang hati. Bahkan, saat itu juga, dicapai kesepakatan utk segera dilaksanakan pernikahan antara Kiai Manab dg putri Kiai Sholeh. Tapi, karena di bulan syawal masih banyak kesibukan, pernikahan itu ditunda empat bulan kemudian, tepatnya 8 Shafar 1328/1908.
Hari bahagia nan berkah akad nikah antara kiai & putri seorang kiai berlangsung di khidmat. Kiai Manab, yg saat itu berusia 50 tahun lebih, naik pelaminan menyunting dara ayu, Khodijah Binti Kiai Sholeh, yg masih berumur 15 tahun. Sungguh pasangan yg jauh dari serasi. Namun, berkat restu orang tua dan guru, cinta suci bersemi pula. Maka, berbahagialah mereka.
Tapi, kebahagiaan itu tdk menghadirkan kemeriahan layaknya sebuah pesta perkawainan sebab perniakahan itu hanya dilangsungkan secara sederhana, iktifaan. Kiai Manab hanya diantar oleh rekan2nya yg berjumlah 12 orang. Diantaranya Kiai Abas dan kakaknya, Kiai Anas dari Buntet Cirebon, dan Gus Ahmad. Bahkan, begitu sederhananya pernikahan itu, keluarga Kiai Manab di Magelang tidak mengetahui.
*Berkeluarga dan
Keluarga Besar
Kini lembaran sejarah baru mulai dirintis Kiai Manab. Setelah memasuki jenjang perkawinan, beliau masih sempat meneruskan belajar di Tebuireng. Tapi, itu hanya berlangsung setengah tahun sebab tanggung jawab beliau sebagai suami menuntutnya bermukim di Banjarmelati mendampingi sang istri merajut kasih sayang & membina mahligai rumah tangga.
Setelah satu tahun, rumah tangga Kiai Manab kian bertambah mesra & hangat dg kehadiran putri pertama beliau yg diberi nama Hannah pada tahun 1909 M. Hanya saja ada satu yg belum terlengkapi, yakni rumah sebagai tempat tinggal. Bagi Kiai Manab, masalah ini beliau serahkan setulusnya kepada Yang Kuasa, tawakkal.
Kepasrahan inilah yg akhirnya membuahkan sesuatu yg jauh lebih bermakna. Bukan hanya tempat tinggal yg beliau peroleh, tapi juga "ladang nan subur" utk menaburkan benih2 keilmuannya, yakni Lirboyo. Semua bermula dari Kiai Sholeh yg sering lewat Desa Lirboyo jika hendak pergi ke sawahnya di daerah Semen, Kediri.
Suatu ketika, saat beliau melewati desa tersebut tiba2 ada sesuatu yg aneh, Lirboyo yg kondang keonarannya & angker itu seolah-olah di mata beliau nampak berubah menjadi desa tenteram kertaraharja. Timbul keinginan Kiai Sholeh utk memiloki sebidang tanah di Desa Lirboyo itu. Maklum, sebagai seorang ulama, beliau merasa terpanggil utk membenahi desa tersebut.
Gayung pun bersambut. Lurah Lirboyo yg sudah tidak mampu lagi menenteramkan desanya itu memohon bantuan Kiai Sholeh utk menempatkan menantunya yg alim di Lirboyo. Agar masyarakat yg kering siraman ilmu agama kembali pada jalan yg benar. Ki Lurah yg Priyayi dari Solo ini berharap sekali permintaannya dikabulkan. Tiap kali Kiai Sholeh pergi ke sawah, Ki Lurah selalu menghadang beliau & mengulangi permintaannya berkali-kali.
Akhirnya Kiai Sholeh meluluskan juga permintaan Ki Lurah yg bijak itu. Mengingat pula menantunya, Kiai Manab, belum juga mempunyai tempat tinggal. Dengan bantuan Ki Lurah itu, beliau berusaha membeli sebidang tanah di Lirboyo. Kebetulan sekali saat itu ada seorang penduduk yg akan menjual tanahnya karena sudah tidak betah bermukim di Lirboyo.
Setelah Kiai Sholeh membeli tanah seluas kurang lebih 1.785 meter persegi itu, segera beliau mempersiapkan tempat itu sebagai hunian yg nyaman dg jalan lahir maupun batin. Di atas tanah tersebut dibacakan adzan. Sungguh menakjubkan. Semalaman setelah itu, penduduk Lirboyo tdk bisa tidur. Mereka merasa ngeri mendengar suara gaduh kepindahan makhluk halus yg lari tunggang-langgang. Kumandang adzan Kiai Sholeh cukup mengusik bangsa lelembut itu.
Setelah dirasa siap, Kiai Sholeh lantas mendirikan rumah kecil yg amat sederhana. Hanya berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Karena terlalu sederhana, maka boleh disebut gubug. Tatkala rumah itu selesai dibangun, Kiai Sholeh lalu memberitahukan kepada Kiai Manab bahwa beliau disediakan tempat di Lirboyo.
"Kiai, panjenengan sampun kula damelaken griya wonten Lirboyo" (Kiai, Anda sudah saya buatkan rumah di Lirboyo), begitu Kiai sholeh dg bahasa yg halus mempersilahkan Kiai Manab, menantunya. Betapa bersyukurnya Kiai Manab kala itu. Mertua beliau benar2 memerhatikan keluarga beliau. Dengan penuh ungkapan syukur, Kiai Manab diantar Kiai Asy'ari yg tdk lain adalah kakak ipar beliau. Malam harinya, langsung berangkat ke Lirboyo menempati rumah itu.
Sampai di Lirboyo, Kiai Manab ditinggal sendirian. Dibekali nasi satu bakul kecil, sayur satu mangkuk, tikar, & lampu. Baru dua hari berikutnya istri beliau, Nyai Khodijah, menyusul ke Lirboyo. Tidak lazimnya pindah rumah, beliau hanya membawa sedikit beras, kayu bakar, & seekor ayam blorok.
Kehadiran Kiai Manab rupanya tidak disukai oleh penduduk sekitar. Waktu itu masih berjumlah 41 kepala keluarga. Mereka yg menjadi perusuh, maling, atau perampok merasa terusik dengan kehadiran beliau. Tak ayal, segala bentuk teror, baik pada siang maupun malam, sering beliau terima agar tidak betah di Lirboyo. Tapi, dengan tabah semua itu beliau hadapi satu persatu dg terus bertabligh, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan, bukan hanya itu. Kiai Manab pun melakukan usaha batin, riyadlah (tirakat), berpuasa, memohon pertolongan Allah. Sebab, bukan hanya mereka saja yg mengganggu beliau, tapi juga para makhluk halus seperti jin jahat. Maklum, Lirboyo memang terkenal wingit. Bahkan, sampai sekarang, keangkeran itu masih terasa.
Pada waktu itu banyak penduduk Lirboyo yg belum Islam. Hal ini diperkuat dg belum adanya sarana masjid utk menampung shalat jum'at. Dengan demikian, Kiai Manab lah yg pertama menyebarkan Islam di Desa Lirboyo.
Alhamdulillah, upaya Kiai Manab menyadarkan masyarakat Lirboyo lambat laun menampakkan hasil. Banyak penduduk yg mulai insaf setelah mendapat wejangan dari beliau. Bahkan, selang tidak begitu lama, Kiai Manab telah mampu membangun sarana peribadatan sederhana, yaitu sebuah Langgar Angkring. Tiga tahun kemudian, bangunan itu disempurnakan menjadi masjid. Tepatnya pada tahun 1913 M.
Dengan terwujudnya masjid ini, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin nyata. Fungsi masjid pun kian berkembang. Bukan sekedar tempat ibadah, tapi juga sebagai sarana pendidikan, tempat memberi mau'idhah, dan pengajian. Waktu itu, mulai banyak masyarakat yg berguru kepada Kiai Manab. Bahkan, sudah ada juga santri yg datang ke Lirboyo menuntut ilmu, yakni seorang santri dari Madiun bernama Umar. Inilah santri pertama yg menjadi cikal bakal keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo yg dirintis dari bawah oleh Kia Manab.
Kini lembaran sejarah baru mulai dirintis Kiai Manab. Setelah memasuki jenjang perkawinan, beliau masih sempat meneruskan belajar di Tebuireng. Tapi, itu hanya berlangsung setengah tahun sebab tanggung jawab beliau sebagai suami menuntutnya bermukim di Banjarmelati mendampingi sang istri merajut kasih sayang & membina mahligai rumah tangga.
Setelah satu tahun, rumah tangga Kiai Manab kian bertambah mesra & hangat dg kehadiran putri pertama beliau yg diberi nama Hannah pada tahun 1909 M. Hanya saja ada satu yg belum terlengkapi, yakni rumah sebagai tempat tinggal. Bagi Kiai Manab, masalah ini beliau serahkan setulusnya kepada Yang Kuasa, tawakkal.
Kepasrahan inilah yg akhirnya membuahkan sesuatu yg jauh lebih bermakna. Bukan hanya tempat tinggal yg beliau peroleh, tapi juga "ladang nan subur" utk menaburkan benih2 keilmuannya, yakni Lirboyo. Semua bermula dari Kiai Sholeh yg sering lewat Desa Lirboyo jika hendak pergi ke sawahnya di daerah Semen, Kediri.
Suatu ketika, saat beliau melewati desa tersebut tiba2 ada sesuatu yg aneh, Lirboyo yg kondang keonarannya & angker itu seolah-olah di mata beliau nampak berubah menjadi desa tenteram kertaraharja. Timbul keinginan Kiai Sholeh utk memiloki sebidang tanah di Desa Lirboyo itu. Maklum, sebagai seorang ulama, beliau merasa terpanggil utk membenahi desa tersebut.
Gayung pun bersambut. Lurah Lirboyo yg sudah tidak mampu lagi menenteramkan desanya itu memohon bantuan Kiai Sholeh utk menempatkan menantunya yg alim di Lirboyo. Agar masyarakat yg kering siraman ilmu agama kembali pada jalan yg benar. Ki Lurah yg Priyayi dari Solo ini berharap sekali permintaannya dikabulkan. Tiap kali Kiai Sholeh pergi ke sawah, Ki Lurah selalu menghadang beliau & mengulangi permintaannya berkali-kali.
Akhirnya Kiai Sholeh meluluskan juga permintaan Ki Lurah yg bijak itu. Mengingat pula menantunya, Kiai Manab, belum juga mempunyai tempat tinggal. Dengan bantuan Ki Lurah itu, beliau berusaha membeli sebidang tanah di Lirboyo. Kebetulan sekali saat itu ada seorang penduduk yg akan menjual tanahnya karena sudah tidak betah bermukim di Lirboyo.
Setelah Kiai Sholeh membeli tanah seluas kurang lebih 1.785 meter persegi itu, segera beliau mempersiapkan tempat itu sebagai hunian yg nyaman dg jalan lahir maupun batin. Di atas tanah tersebut dibacakan adzan. Sungguh menakjubkan. Semalaman setelah itu, penduduk Lirboyo tdk bisa tidur. Mereka merasa ngeri mendengar suara gaduh kepindahan makhluk halus yg lari tunggang-langgang. Kumandang adzan Kiai Sholeh cukup mengusik bangsa lelembut itu.
Setelah dirasa siap, Kiai Sholeh lantas mendirikan rumah kecil yg amat sederhana. Hanya berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Karena terlalu sederhana, maka boleh disebut gubug. Tatkala rumah itu selesai dibangun, Kiai Sholeh lalu memberitahukan kepada Kiai Manab bahwa beliau disediakan tempat di Lirboyo.
"Kiai, panjenengan sampun kula damelaken griya wonten Lirboyo" (Kiai, Anda sudah saya buatkan rumah di Lirboyo), begitu Kiai sholeh dg bahasa yg halus mempersilahkan Kiai Manab, menantunya. Betapa bersyukurnya Kiai Manab kala itu. Mertua beliau benar2 memerhatikan keluarga beliau. Dengan penuh ungkapan syukur, Kiai Manab diantar Kiai Asy'ari yg tdk lain adalah kakak ipar beliau. Malam harinya, langsung berangkat ke Lirboyo menempati rumah itu.
Sampai di Lirboyo, Kiai Manab ditinggal sendirian. Dibekali nasi satu bakul kecil, sayur satu mangkuk, tikar, & lampu. Baru dua hari berikutnya istri beliau, Nyai Khodijah, menyusul ke Lirboyo. Tidak lazimnya pindah rumah, beliau hanya membawa sedikit beras, kayu bakar, & seekor ayam blorok.
Kehadiran Kiai Manab rupanya tidak disukai oleh penduduk sekitar. Waktu itu masih berjumlah 41 kepala keluarga. Mereka yg menjadi perusuh, maling, atau perampok merasa terusik dengan kehadiran beliau. Tak ayal, segala bentuk teror, baik pada siang maupun malam, sering beliau terima agar tidak betah di Lirboyo. Tapi, dengan tabah semua itu beliau hadapi satu persatu dg terus bertabligh, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan, bukan hanya itu. Kiai Manab pun melakukan usaha batin, riyadlah (tirakat), berpuasa, memohon pertolongan Allah. Sebab, bukan hanya mereka saja yg mengganggu beliau, tapi juga para makhluk halus seperti jin jahat. Maklum, Lirboyo memang terkenal wingit. Bahkan, sampai sekarang, keangkeran itu masih terasa.
Pada waktu itu banyak penduduk Lirboyo yg belum Islam. Hal ini diperkuat dg belum adanya sarana masjid utk menampung shalat jum'at. Dengan demikian, Kiai Manab lah yg pertama menyebarkan Islam di Desa Lirboyo.
Alhamdulillah, upaya Kiai Manab menyadarkan masyarakat Lirboyo lambat laun menampakkan hasil. Banyak penduduk yg mulai insaf setelah mendapat wejangan dari beliau. Bahkan, selang tidak begitu lama, Kiai Manab telah mampu membangun sarana peribadatan sederhana, yaitu sebuah Langgar Angkring. Tiga tahun kemudian, bangunan itu disempurnakan menjadi masjid. Tepatnya pada tahun 1913 M.
Dengan terwujudnya masjid ini, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin nyata. Fungsi masjid pun kian berkembang. Bukan sekedar tempat ibadah, tapi juga sebagai sarana pendidikan, tempat memberi mau'idhah, dan pengajian. Waktu itu, mulai banyak masyarakat yg berguru kepada Kiai Manab. Bahkan, sudah ada juga santri yg datang ke Lirboyo menuntut ilmu, yakni seorang santri dari Madiun bernama Umar. Inilah santri pertama yg menjadi cikal bakal keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo yg dirintis dari bawah oleh Kia Manab.
dengan Sedekah ke
Makkah
Satu dasawarsa lebih setelah Kiai Manab mengembangkan pesantrennya, banyak kemajuan yg dicapai. Jumlah santri semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru. Menurut sebuah riwayat, setelah Kiai Manab merintis pesantren, Kiai Kholil Bangkalan tidak mau menerima santri lagi. Setiap santri yg datang kepada beliau dianjurkan utk berguru kepada Kiai Manab.
Tentu saja, jumlah santri yg semakin membengkak membutuhkan pemukiman yg memadai. Dan dengan segala keikhlasan, Kiai Manab merelakan sebagian tanahnya dihuni para santri. Begitulah pemimpin yg sejati. Selalu mendahulukan orang lain atas diri sendiri.
Setelah kebutuhan santri mulai terpenuhi, Kiai Manab berkeinginan menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun islam yg lama beliau dambakan. Niat itu semakin mantap setelah Pemerintah Daerah Kediri akan membeli sebidang tanah beliau yg terletak di sebelah selatan masjid. Menurut rencana tanah tersebut dipergunakan utk membangun penjara (lembaga pemasyarakatan) oleh Pemda Kediri.
Karena hak atas tanah tersebut ada pada Ibu Nyai, Kiai Manab meminta persetujuan sekaligus musyawarah kepada Ibu Nyai. Bila kelak Pemda Kediri jadi membebaskan tanah itu, uang ganti ruginya akan digunakan utk ongkos naik haji. Ibu Nyai Khodijah setuju dg rencana beliau.
Anehnya, meski rencana itu baru beliau kemukakan kepada Ibu Nyai, dlm waktu singkat, sudah terdengar kemana-mana. Wallahu a'lam. Yang jelas kediaman Kiai Manab lantas dipenuhi tamu yg menghormat dan menghaturkan selamat atas keberangkatan beliau. Sebagai lazimnya tamu yg ingin mengungkapkan rasa kebahagiaannya banyak yg menghaturkan tambahan bekal utk beliau. Memang rizki dari Allah swt. tidak disangka, ternyata uang hibah dari para tamu tadi mencapai sekitar Rp600,00 jumlah yg cukup utk ongkos naik haji saat itu. Karenanya, penjualan tanah akhirnya diurungkan dan kebetulan juga Pemda Kediri menggagalkan rencana pembeliannya.
Setelah cukup berbenah, Kiai Manab berangkat menuju Surabaya. Perjalanan haji kala tahun 1922 M itu melalui laut. Di Surabaya, beliau memperoleh tambahan bekal lagi dari para dermawan. Sehingga, bekal beliau menjadi Rp1000,00. Jumlah itu tentu lebih dari cukup. Namun, Kiai Manab tdk tahu-menahu dg uang sebanyak itu. Bahkan, utk menghitung dan membawanya, beliau serahkan kepada pendamping beliau, yaitu Mbah Dasun Khotob. Begitulah Kiai Manab, tdk peduli pada duniawi sehingga jumlah uang milik sendiri pun beliau tidak tahu.
Kezuhudan Kiai Manab membuat kagum Kiai Hasyim Asy'ari ketika keduanya bertemu di Surabaya. Waktu itu, kebetulan sekali Kiai Hasyim, sahabat sekaligus guru beliau, ternyata juga hendak menunaikan ibadah haji. Kiai Hasyim merasa heran, Kiai Manab, yg kemampuan duniawinya nampak biasa saja, mampu melaksanakan haji. Kiai Hasyim lantas bertanya kepada beliau, apakah sudah siap segalanya. Ternyata memang sudah semuanya. Cuma yg bikin geleng2 kepala ketika ditanya berapa jumlah uangnya, Kiai Manab hanya menjawab, "Mboten ngertos" (Tidak mengerti).
Kontan Kiai Hasyim meminta uang itu utk dihitungnya. Ternyata, malah lebih dari cukup utk menunaikan ibadah haji. Kemudian Kian Manab dan Kiai Hasyim berangkat bersama ke tanah suci. Mereka satu kapal. Di Tanah Suci, Kiai Manab mampu melakukan umrah sampai 70 kali. Itu pun beliau lakukan dengan berjalan kaki dari Tan'im.
Satu dasawarsa lebih setelah Kiai Manab mengembangkan pesantrennya, banyak kemajuan yg dicapai. Jumlah santri semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru. Menurut sebuah riwayat, setelah Kiai Manab merintis pesantren, Kiai Kholil Bangkalan tidak mau menerima santri lagi. Setiap santri yg datang kepada beliau dianjurkan utk berguru kepada Kiai Manab.
Tentu saja, jumlah santri yg semakin membengkak membutuhkan pemukiman yg memadai. Dan dengan segala keikhlasan, Kiai Manab merelakan sebagian tanahnya dihuni para santri. Begitulah pemimpin yg sejati. Selalu mendahulukan orang lain atas diri sendiri.
Setelah kebutuhan santri mulai terpenuhi, Kiai Manab berkeinginan menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun islam yg lama beliau dambakan. Niat itu semakin mantap setelah Pemerintah Daerah Kediri akan membeli sebidang tanah beliau yg terletak di sebelah selatan masjid. Menurut rencana tanah tersebut dipergunakan utk membangun penjara (lembaga pemasyarakatan) oleh Pemda Kediri.
Karena hak atas tanah tersebut ada pada Ibu Nyai, Kiai Manab meminta persetujuan sekaligus musyawarah kepada Ibu Nyai. Bila kelak Pemda Kediri jadi membebaskan tanah itu, uang ganti ruginya akan digunakan utk ongkos naik haji. Ibu Nyai Khodijah setuju dg rencana beliau.
Anehnya, meski rencana itu baru beliau kemukakan kepada Ibu Nyai, dlm waktu singkat, sudah terdengar kemana-mana. Wallahu a'lam. Yang jelas kediaman Kiai Manab lantas dipenuhi tamu yg menghormat dan menghaturkan selamat atas keberangkatan beliau. Sebagai lazimnya tamu yg ingin mengungkapkan rasa kebahagiaannya banyak yg menghaturkan tambahan bekal utk beliau. Memang rizki dari Allah swt. tidak disangka, ternyata uang hibah dari para tamu tadi mencapai sekitar Rp600,00 jumlah yg cukup utk ongkos naik haji saat itu. Karenanya, penjualan tanah akhirnya diurungkan dan kebetulan juga Pemda Kediri menggagalkan rencana pembeliannya.
Setelah cukup berbenah, Kiai Manab berangkat menuju Surabaya. Perjalanan haji kala tahun 1922 M itu melalui laut. Di Surabaya, beliau memperoleh tambahan bekal lagi dari para dermawan. Sehingga, bekal beliau menjadi Rp1000,00. Jumlah itu tentu lebih dari cukup. Namun, Kiai Manab tdk tahu-menahu dg uang sebanyak itu. Bahkan, utk menghitung dan membawanya, beliau serahkan kepada pendamping beliau, yaitu Mbah Dasun Khotob. Begitulah Kiai Manab, tdk peduli pada duniawi sehingga jumlah uang milik sendiri pun beliau tidak tahu.
Kezuhudan Kiai Manab membuat kagum Kiai Hasyim Asy'ari ketika keduanya bertemu di Surabaya. Waktu itu, kebetulan sekali Kiai Hasyim, sahabat sekaligus guru beliau, ternyata juga hendak menunaikan ibadah haji. Kiai Hasyim merasa heran, Kiai Manab, yg kemampuan duniawinya nampak biasa saja, mampu melaksanakan haji. Kiai Hasyim lantas bertanya kepada beliau, apakah sudah siap segalanya. Ternyata memang sudah semuanya. Cuma yg bikin geleng2 kepala ketika ditanya berapa jumlah uangnya, Kiai Manab hanya menjawab, "Mboten ngertos" (Tidak mengerti).
Kontan Kiai Hasyim meminta uang itu utk dihitungnya. Ternyata, malah lebih dari cukup utk menunaikan ibadah haji. Kemudian Kian Manab dan Kiai Hasyim berangkat bersama ke tanah suci. Mereka satu kapal. Di Tanah Suci, Kiai Manab mampu melakukan umrah sampai 70 kali. Itu pun beliau lakukan dengan berjalan kaki dari Tan'im.
*Perhatian kepada
Keluarga dan Santri.
KH. Abdul Karim adalah nama Kiai Manab setelah menunaikan ibadah haji. Bukan sekedar nama belaka yg beliau bawa dari Tanah Suci. Sesuatu yg jauh lebih bernilai dari itu juga beliau semaikan di Lirboyo, yakni haji mabrur. Hal ini tercermin dari amaliyah beliau setiap hari. Lebih khusyuk beribadah juga lebih tekun mendidik para santri dan keluarga.
Salah satu tugas kiai adalah harus mampu mempersiapkan alih generasi. Demikian pula dg KH. Abdul Karim. Setelah jamaah Shubuh, beliau selalu memberikan pengajaran khusus kepada anak cucu beliau. Pengajian tentunya lebih ketat, yakni dg sistem sorogan, beliau sampaikan hingga sekitar pukul 07.30 wib.
Beberapa tahun kemudian, beliau bahkan menambah waktu hingga siang hari. KH. Abdul Karim sangat telaten dlm memberikan pelajaran. Beliau memberikan pelajaran dasar. Misalnya membaca Al-Qur'an, Tajwid, Aqaid 50, Tashrif, dan sebagainya. Itu semua diajarkan sebelum pelajaran yg lebih tinggi. Sebagai tuntunan hidup, beliau selalu memberikan mau'idhah hasanah yg beliau sampaikan dg lembah lembut seperti layaknya dlm percakapan sehari-hari.
Di samping itu, KH. Abdul Karim juga sangat memerhatikan kemaslahatan keluarga. Kepada putri2 beliau yg telah berumah tangga, beliau menasehati agar selalu taat kepada suami. Sering beliau tuturkan, seumpama beliau sakit atau meninggal, sang putri tdk diperkenankan menjenguk beliau selama tdk mendapat izin suami. Nasihat beliau bukanlah semata kata2, tapi terbukti sebagai perilaku yg mulia. Kala beliau sakit & salah seorang putri beliau yg telah berkeluarga menjenguk, tentu beliau menanyakan berapa lama izin dari suaminya. Jika izin yg diberikan suaminya telah habis, beliau menegurnya utk segera pulang. Bahkan, terkadang beliau sendiri yg mengantarnya.
Kesan mendalam yg diajarkan KH. Abdul Karim juga terlihat saat putra beliau meninggal dunia. Nawawi, putra beliau yg belum genap setahun menimba ilmu di Makkah akhirnya meninggal dunia di sana (tahun 1938 M), beliau hanya berucap: "Alhamdulillah, semoga jalan antar Lirboyo dan Makkah lurus". Di lain kesempatan, beliau mengunjungi teman2 putranya, memintakan maaf dan memohon halal segala sesuatu yg mungkin telah dipergunakan putranya.
Kasih sayang KH. Abdul Karim ternyata bukan hanya dirasakan di lingkungan keluarga saja, tapi juga di tengah2 para santri. Di saat memberikan wejangan, beliau selalu mendorong para santri agar tekun belajar. Tidak sedikit pun beliau menampilkan kesan menakutkan, apalagi bertutur kata kasar. Kalau ada santri yg nakal, beliau hanya menangis dan berdoa. Tak pernah mengumpatnya.
Beliau paling tidak suka jika ada seseorang, sekalipun keluarganya, berbuat sewenang-wenang atau menuduh yg bukan2 kepada santri. Pernah ada seorang santri yg banyak berhutang kepada beliau. Hutang itu dibebaskan beliau ketika santri tersebut meninggal sebelum melunasinya dg berkata: "kabeh tak halalke embuh aku eling apa ora" (semuanya saya halalkan, entah saya ingat atau tidak).
KH. Abdul Karim adalah nama Kiai Manab setelah menunaikan ibadah haji. Bukan sekedar nama belaka yg beliau bawa dari Tanah Suci. Sesuatu yg jauh lebih bernilai dari itu juga beliau semaikan di Lirboyo, yakni haji mabrur. Hal ini tercermin dari amaliyah beliau setiap hari. Lebih khusyuk beribadah juga lebih tekun mendidik para santri dan keluarga.
Salah satu tugas kiai adalah harus mampu mempersiapkan alih generasi. Demikian pula dg KH. Abdul Karim. Setelah jamaah Shubuh, beliau selalu memberikan pengajaran khusus kepada anak cucu beliau. Pengajian tentunya lebih ketat, yakni dg sistem sorogan, beliau sampaikan hingga sekitar pukul 07.30 wib.
Beberapa tahun kemudian, beliau bahkan menambah waktu hingga siang hari. KH. Abdul Karim sangat telaten dlm memberikan pelajaran. Beliau memberikan pelajaran dasar. Misalnya membaca Al-Qur'an, Tajwid, Aqaid 50, Tashrif, dan sebagainya. Itu semua diajarkan sebelum pelajaran yg lebih tinggi. Sebagai tuntunan hidup, beliau selalu memberikan mau'idhah hasanah yg beliau sampaikan dg lembah lembut seperti layaknya dlm percakapan sehari-hari.
Di samping itu, KH. Abdul Karim juga sangat memerhatikan kemaslahatan keluarga. Kepada putri2 beliau yg telah berumah tangga, beliau menasehati agar selalu taat kepada suami. Sering beliau tuturkan, seumpama beliau sakit atau meninggal, sang putri tdk diperkenankan menjenguk beliau selama tdk mendapat izin suami. Nasihat beliau bukanlah semata kata2, tapi terbukti sebagai perilaku yg mulia. Kala beliau sakit & salah seorang putri beliau yg telah berkeluarga menjenguk, tentu beliau menanyakan berapa lama izin dari suaminya. Jika izin yg diberikan suaminya telah habis, beliau menegurnya utk segera pulang. Bahkan, terkadang beliau sendiri yg mengantarnya.
Kesan mendalam yg diajarkan KH. Abdul Karim juga terlihat saat putra beliau meninggal dunia. Nawawi, putra beliau yg belum genap setahun menimba ilmu di Makkah akhirnya meninggal dunia di sana (tahun 1938 M), beliau hanya berucap: "Alhamdulillah, semoga jalan antar Lirboyo dan Makkah lurus". Di lain kesempatan, beliau mengunjungi teman2 putranya, memintakan maaf dan memohon halal segala sesuatu yg mungkin telah dipergunakan putranya.
Kasih sayang KH. Abdul Karim ternyata bukan hanya dirasakan di lingkungan keluarga saja, tapi juga di tengah2 para santri. Di saat memberikan wejangan, beliau selalu mendorong para santri agar tekun belajar. Tidak sedikit pun beliau menampilkan kesan menakutkan, apalagi bertutur kata kasar. Kalau ada santri yg nakal, beliau hanya menangis dan berdoa. Tak pernah mengumpatnya.
Beliau paling tidak suka jika ada seseorang, sekalipun keluarganya, berbuat sewenang-wenang atau menuduh yg bukan2 kepada santri. Pernah ada seorang santri yg banyak berhutang kepada beliau. Hutang itu dibebaskan beliau ketika santri tersebut meninggal sebelum melunasinya dg berkata: "kabeh tak halalke embuh aku eling apa ora" (semuanya saya halalkan, entah saya ingat atau tidak).
*dari Tirakat
sampai Shalawat
Ada lagi sesi kehidupan KH. Abdul Karim yg patut diteladani, yakni suka riyadlah, mengolah jiwa, atau tirakat. Kebiasaan ini tak pernah beliau tinggalkan sejak beliau menuntut ilmu sampai berkeluarga, bahkan hingga menjadi kiai pemangku pesantren. Diantara tirakat itu, konon KH. Abdul Karim ditemani Umar, santri pertamanya, bertahun-tahun sehari hanya minum secangkir kopi. Baru pada hari jum'at mereka makan nasi. Itu pun hanya satu lepek (cawan kecil). Menghidupkan malam atau saharul lail termasuk pula riyadlah beliau, tak ingin tidur, selain tertidur, dan itu pun relatif singkat. Beliau habiskan waktu malam utk berdzikir, munajat kepada Allah, membaca Al-Qur'an, atau menelaah kitab. Kebiasaan ini diketahui banyak santri lewat celah2 kediaman beliau selagi mereka ronda malam.
Sedang di kala pagi, usai berjamaah shubuh, KH. Abdul Karim senantiasa melakukan wirid bersama para santri, membaca tahlil dan hauqalah. Setelah mengakhirinya dg do'a, beliau tetap tidak beranjak dari mihrab, tapi meneruskan wiris sendiri. Baru sekitar pukul 06.30 wib, beliau keluar dari masjid.
Di rumah masih meneruskan beberapa aurad (wirid2), sambil memberikan pengajian, seperti Ratibul Haddad, surat Tabarak, dan surat Yasin kepada anak cucu. Tidak terbatas di masjid dan kediaman saja melakukan wirid, tapi kala menunggui santri matun (menyiangi rumput) beliau tak lupa terus berdzikir. Begitulah pribadi yg dekat dg Allah swt.
Seluruh waktu yg dimiliki KH. Abdul Karim dicurahkan utk mangaji, mendidik santri maupun muthalaah kitab. Kegiatan yg lain hanya secukupnya, termasuk menerima tamu. Kalau ada yg bertamu, beliau akan menerimanya dg senang hati, mempersilahkan duduk dan memberikan penghormatan. Tapi kemudian beliau masuk melanjutkan muthalaah. Sampai tamu itu pulang berpamitan, beliau terkadang masih asik dg kitab yg sedang dibacanya. Memang ada salah seorang tamu yg memohon dg sangat, bahkan sedikit mamaksa agar KH. Abdul Karim mau menungguinya lebih lama. Tamu itu adalah KH. Wahab Hasbullah, Tambak Beras, Jombang, yg sama2 pernah nyantri di Tebuireng walaupun saat itu Kiai Wahab masih kecil.
Pada saat2 genting, seperti waktu agresi Belanda, KH. Abdul Karim lebih banyak melakukan wiridan, seperti Qashidah Munfarijah, Hizib Nashar, Hizib Nawawi, dan berbagai shalawat. Walau mengamalkan berbagai aurad, beliau selalu berpesan kepada para santri agar jangan terlalu banyak mengamalkan berbagai wirid atau malah mengikatkan diri pada satu tarikat. Bagi santri cukup dg aurad yg mu'tabar, seperti tadarus Al-Qur'an, shalawat, atau Dalailul Khairat.
Ada lagi sesi kehidupan KH. Abdul Karim yg patut diteladani, yakni suka riyadlah, mengolah jiwa, atau tirakat. Kebiasaan ini tak pernah beliau tinggalkan sejak beliau menuntut ilmu sampai berkeluarga, bahkan hingga menjadi kiai pemangku pesantren. Diantara tirakat itu, konon KH. Abdul Karim ditemani Umar, santri pertamanya, bertahun-tahun sehari hanya minum secangkir kopi. Baru pada hari jum'at mereka makan nasi. Itu pun hanya satu lepek (cawan kecil). Menghidupkan malam atau saharul lail termasuk pula riyadlah beliau, tak ingin tidur, selain tertidur, dan itu pun relatif singkat. Beliau habiskan waktu malam utk berdzikir, munajat kepada Allah, membaca Al-Qur'an, atau menelaah kitab. Kebiasaan ini diketahui banyak santri lewat celah2 kediaman beliau selagi mereka ronda malam.
Sedang di kala pagi, usai berjamaah shubuh, KH. Abdul Karim senantiasa melakukan wirid bersama para santri, membaca tahlil dan hauqalah. Setelah mengakhirinya dg do'a, beliau tetap tidak beranjak dari mihrab, tapi meneruskan wiris sendiri. Baru sekitar pukul 06.30 wib, beliau keluar dari masjid.
Di rumah masih meneruskan beberapa aurad (wirid2), sambil memberikan pengajian, seperti Ratibul Haddad, surat Tabarak, dan surat Yasin kepada anak cucu. Tidak terbatas di masjid dan kediaman saja melakukan wirid, tapi kala menunggui santri matun (menyiangi rumput) beliau tak lupa terus berdzikir. Begitulah pribadi yg dekat dg Allah swt.
Seluruh waktu yg dimiliki KH. Abdul Karim dicurahkan utk mangaji, mendidik santri maupun muthalaah kitab. Kegiatan yg lain hanya secukupnya, termasuk menerima tamu. Kalau ada yg bertamu, beliau akan menerimanya dg senang hati, mempersilahkan duduk dan memberikan penghormatan. Tapi kemudian beliau masuk melanjutkan muthalaah. Sampai tamu itu pulang berpamitan, beliau terkadang masih asik dg kitab yg sedang dibacanya. Memang ada salah seorang tamu yg memohon dg sangat, bahkan sedikit mamaksa agar KH. Abdul Karim mau menungguinya lebih lama. Tamu itu adalah KH. Wahab Hasbullah, Tambak Beras, Jombang, yg sama2 pernah nyantri di Tebuireng walaupun saat itu Kiai Wahab masih kecil.
Pada saat2 genting, seperti waktu agresi Belanda, KH. Abdul Karim lebih banyak melakukan wiridan, seperti Qashidah Munfarijah, Hizib Nashar, Hizib Nawawi, dan berbagai shalawat. Walau mengamalkan berbagai aurad, beliau selalu berpesan kepada para santri agar jangan terlalu banyak mengamalkan berbagai wirid atau malah mengikatkan diri pada satu tarikat. Bagi santri cukup dg aurad yg mu'tabar, seperti tadarus Al-Qur'an, shalawat, atau Dalailul Khairat.
*Keajaiban nan Tak
Ajaib
Seorang muslim yg kecintaannya pada Allah swt. melebihi segalanya dan selalu dibuktikan dlm amal perbuatan, niscaya Allah memancarkan karamah. Demikian halnya dg KH. Abdul Karim, seorang alim yg telah mencapai derajat kewalian, namun selalu menyembunyikan kealiman dan kewaliannya. Beliau selalu merunduk, tawadluk, menganggap diri sebagai manusia yg hina, khumul.
Pernah terjadi hal yg cukup mencengangkan pada KH. Abdul Karim. Suatu hari datanglah seorang santri baru. Saat dia turun dari kendaraan, kebetulan beliau sedang berada di jalan. Karena penampilan beliau tdk sedikitpun menunjukkan seorang kiai, santri itu meminta beliau membawakan kopernya ke kamar. KH. Abdul Karim tdk keberatan. Beliau angkat barang itu ke kamar yg diminta. Santri2 yg melihat kejadian ini kaget bukan kepalang hingga banyak yg berlarian. Ketika berjamaah, santri baru tersebut melihat orang yg membawakan koper tempo hari menjadi imam. Tersentaklah ia. Konon, karena tdk tahan menanggung malu, santri itu kemudian pulang dg tanpa pamit.
Keistimewaan lain pada diri KH. Abdul Karim adalah keikhlasan dlm memberikan pengajian. Dengan ratusan santri yg bersimpuh di hadapan beliau, tentu saja kediaman beliau yg kecil dan sempit itu tdk bisa menampung. Banyak santri tdk kebagian tempat terpaksa di luar. Bahkan, ada yg cukup jauh jaraknya. Dalam membaca kitab, KH. Abdul Karim selalu menyampaikan apa adanya sehingga ada kalimat yg tdk diberi makna atau dlamir yg tdk dirujukkan. Tentu, hal ini membuat para santri ada yg menggerutu. Mereka seakan protes, mengapa kiai membaca begitu.
Tanpa diduga, beliau dawuh:"yen gelem ya ngene. Wong Kiai Kholil leh maknani ya ngene". Maksudnya, kalau mau ya begini. Wong Kiai Kholil kalau memaknai juga begini. Lebih lanjut, beliau dawuh: "Adl dlamiir fi dlamir man lam ya'rif marji'a dlamir falaisa lahu dlamir". Tentu saja, santri yg buruk sangka tadi terperanjat. Karena kesucian hati serta ketulusannya, KH. Abdul Karim seakan tahu isi hati orang lain. Istilah jawanya ngerti sak jeroning winarah.
Pernah ada salah seorang santri yg suka keluar malam, tapi tdk pernah ketahuan pengurus. Anehnya, justru KH. Abdul Karim pirsa. Lantas beliau menulis pada secarik kertas yg isinya: "Kula mboten remen santri ingkang remen miyos" (Saya tdk suka santri yg sering keluar). Tulisan tersebut ditempelkan di bawah bedug.
Pagi harinya, santri yg suka keluar malam itu tidur di bawah bedug sehingga tahu ada tulisan beliau di situ. Sadar akan kesalahannya, ia tak pernah keluar malam lagi. Begitulah beliau, seakan tahu bahwa anak itu akan tidur di bawah bedug. Beliau menyadarkan orang lain tanpa ada unsur paksaan, apalagi melukai hatinya, Dalam hal ke-tawakkal-an, KH. Abdul Karim begitu teguh. Ketika Belanda melancarkan agresi kedua (1949 M), Kota Kediri terjamah pula. Di seantero kota terjadi baku tembak antara tentara Republik dan Belanda. Penduduk sipil banyak yg lari mengungsi. Begitu juga penduduk Lirboyo. Namun, KH. Abdul Karim tampak tak bergeming sedikit pun. Beliau begitu tenang. Bahkan, ketika ditanya mau mengungsi ke mana, beliau menjawab tdk akan mengungsi. Beliau malah berkata: "Kula badhe ngungsi dateng Allah kemawon" (Saya mau mengungsi pada Allah saja).
Ternyata benar ucapannya. Ketika Belanda masuk Lirboyo, beliau tetap tdk beranjak. Beliau benar2 mengungsi kepada Allah, yaitu ke masjid berdzikir. Alhamdulillah, Allah swt. menjaga beliau. Tak sedikit pun beliau diusik Belanda.
Keajaiban pernah pula melingkupi KH. Abdul Karim. Alkisah, bermula ketika KH. Abdul Karim beserta dua sahabat karibnya, KH. Ma'ruf, Kedunglo, dan KH. Abu Bakar, Bandar Kidul, hendak menghadiri walimatul 'urs. Dikawal Kiai Ali Shodiq, Tulungagung, yg bersepeda, beliau bertiga berangkat dg mengendarai dokar. Sampai di Desa Kaliombo, sebelah selatan Masjid Jami', Alun2 Kediri, tiba2 sebuah truk dg kecepatan tinggi menyalip dokar itu dan memepetnya. Nyaris dokar itu tertabrak. Anehnya, setelah truk itu mendahului dg tdk sopan, tahu2 roda yg sebelah terlepas. Kontan saja truk itu oleng dan berantakan.
Ada pula sepenggal riwayat karamah yg diceritakan oleh KH. Nawawi bahwa saat beliau di Madinah dlm kondisi kurang sehat, beliau bermimpi diberi firasat oleh Nabi Muhammad saw agar mandi di Bir Ali. Kala itu KH. Nawawi langsung mencarikan mobil utk mengantar beliau ke tempat yg dimaksud. Lantas KH. Abdul Karim mandi di situ, lama sekali. Tiba2 saja, kondisi badan KH. Abdul Karim sehat seperti sedia kala.
Selain karamah, nasihat dan tutur kata KH. Abdul Karim sangat berpetuah. Hal ini pernah terbukti, ketika beliau hendak melaksanakan salat berjamaah. Saat bertakbir beliau mengulang beberapa kali karena terganggu oleh santri yg bikin gaduh. Akhirnya, beliau dawuh kepada para santri yg ikut berjamaah bahwa barangsiapa yg mengganggu orang salat, kelak bila mati, tdk ada orang yg melayat. Menurut shahibul hikayah, itu benar. Ketika santri yg bikin gaduh tersebut pulang dan menjadi orang terpandang di masyarakat, saat meninggalnya tdk ada orang lain yg melayat. Na'udzubillah.
Seorang muslim yg kecintaannya pada Allah swt. melebihi segalanya dan selalu dibuktikan dlm amal perbuatan, niscaya Allah memancarkan karamah. Demikian halnya dg KH. Abdul Karim, seorang alim yg telah mencapai derajat kewalian, namun selalu menyembunyikan kealiman dan kewaliannya. Beliau selalu merunduk, tawadluk, menganggap diri sebagai manusia yg hina, khumul.
Pernah terjadi hal yg cukup mencengangkan pada KH. Abdul Karim. Suatu hari datanglah seorang santri baru. Saat dia turun dari kendaraan, kebetulan beliau sedang berada di jalan. Karena penampilan beliau tdk sedikitpun menunjukkan seorang kiai, santri itu meminta beliau membawakan kopernya ke kamar. KH. Abdul Karim tdk keberatan. Beliau angkat barang itu ke kamar yg diminta. Santri2 yg melihat kejadian ini kaget bukan kepalang hingga banyak yg berlarian. Ketika berjamaah, santri baru tersebut melihat orang yg membawakan koper tempo hari menjadi imam. Tersentaklah ia. Konon, karena tdk tahan menanggung malu, santri itu kemudian pulang dg tanpa pamit.
Keistimewaan lain pada diri KH. Abdul Karim adalah keikhlasan dlm memberikan pengajian. Dengan ratusan santri yg bersimpuh di hadapan beliau, tentu saja kediaman beliau yg kecil dan sempit itu tdk bisa menampung. Banyak santri tdk kebagian tempat terpaksa di luar. Bahkan, ada yg cukup jauh jaraknya. Dalam membaca kitab, KH. Abdul Karim selalu menyampaikan apa adanya sehingga ada kalimat yg tdk diberi makna atau dlamir yg tdk dirujukkan. Tentu, hal ini membuat para santri ada yg menggerutu. Mereka seakan protes, mengapa kiai membaca begitu.
Tanpa diduga, beliau dawuh:"yen gelem ya ngene. Wong Kiai Kholil leh maknani ya ngene". Maksudnya, kalau mau ya begini. Wong Kiai Kholil kalau memaknai juga begini. Lebih lanjut, beliau dawuh: "Adl dlamiir fi dlamir man lam ya'rif marji'a dlamir falaisa lahu dlamir". Tentu saja, santri yg buruk sangka tadi terperanjat. Karena kesucian hati serta ketulusannya, KH. Abdul Karim seakan tahu isi hati orang lain. Istilah jawanya ngerti sak jeroning winarah.
Pernah ada salah seorang santri yg suka keluar malam, tapi tdk pernah ketahuan pengurus. Anehnya, justru KH. Abdul Karim pirsa. Lantas beliau menulis pada secarik kertas yg isinya: "Kula mboten remen santri ingkang remen miyos" (Saya tdk suka santri yg sering keluar). Tulisan tersebut ditempelkan di bawah bedug.
Pagi harinya, santri yg suka keluar malam itu tidur di bawah bedug sehingga tahu ada tulisan beliau di situ. Sadar akan kesalahannya, ia tak pernah keluar malam lagi. Begitulah beliau, seakan tahu bahwa anak itu akan tidur di bawah bedug. Beliau menyadarkan orang lain tanpa ada unsur paksaan, apalagi melukai hatinya, Dalam hal ke-tawakkal-an, KH. Abdul Karim begitu teguh. Ketika Belanda melancarkan agresi kedua (1949 M), Kota Kediri terjamah pula. Di seantero kota terjadi baku tembak antara tentara Republik dan Belanda. Penduduk sipil banyak yg lari mengungsi. Begitu juga penduduk Lirboyo. Namun, KH. Abdul Karim tampak tak bergeming sedikit pun. Beliau begitu tenang. Bahkan, ketika ditanya mau mengungsi ke mana, beliau menjawab tdk akan mengungsi. Beliau malah berkata: "Kula badhe ngungsi dateng Allah kemawon" (Saya mau mengungsi pada Allah saja).
Ternyata benar ucapannya. Ketika Belanda masuk Lirboyo, beliau tetap tdk beranjak. Beliau benar2 mengungsi kepada Allah, yaitu ke masjid berdzikir. Alhamdulillah, Allah swt. menjaga beliau. Tak sedikit pun beliau diusik Belanda.
Keajaiban pernah pula melingkupi KH. Abdul Karim. Alkisah, bermula ketika KH. Abdul Karim beserta dua sahabat karibnya, KH. Ma'ruf, Kedunglo, dan KH. Abu Bakar, Bandar Kidul, hendak menghadiri walimatul 'urs. Dikawal Kiai Ali Shodiq, Tulungagung, yg bersepeda, beliau bertiga berangkat dg mengendarai dokar. Sampai di Desa Kaliombo, sebelah selatan Masjid Jami', Alun2 Kediri, tiba2 sebuah truk dg kecepatan tinggi menyalip dokar itu dan memepetnya. Nyaris dokar itu tertabrak. Anehnya, setelah truk itu mendahului dg tdk sopan, tahu2 roda yg sebelah terlepas. Kontan saja truk itu oleng dan berantakan.
Ada pula sepenggal riwayat karamah yg diceritakan oleh KH. Nawawi bahwa saat beliau di Madinah dlm kondisi kurang sehat, beliau bermimpi diberi firasat oleh Nabi Muhammad saw agar mandi di Bir Ali. Kala itu KH. Nawawi langsung mencarikan mobil utk mengantar beliau ke tempat yg dimaksud. Lantas KH. Abdul Karim mandi di situ, lama sekali. Tiba2 saja, kondisi badan KH. Abdul Karim sehat seperti sedia kala.
Selain karamah, nasihat dan tutur kata KH. Abdul Karim sangat berpetuah. Hal ini pernah terbukti, ketika beliau hendak melaksanakan salat berjamaah. Saat bertakbir beliau mengulang beberapa kali karena terganggu oleh santri yg bikin gaduh. Akhirnya, beliau dawuh kepada para santri yg ikut berjamaah bahwa barangsiapa yg mengganggu orang salat, kelak bila mati, tdk ada orang yg melayat. Menurut shahibul hikayah, itu benar. Ketika santri yg bikin gaduh tersebut pulang dan menjadi orang terpandang di masyarakat, saat meninggalnya tdk ada orang lain yg melayat. Na'udzubillah.
*ke Jakarta, Do'a,
dan Air Mata
KH. Abdul Karim sebenarnya seorang ulama yg tidak pernah absen dalam perjuangan. Hanya karena sifat khumul dan lillahi ta'ala, perjuangan beliau lebih banyak di garis belakang. Namun, pernah juga beliau tampil di garis depan. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945 M), ulama dari berbagai daerah dipanggil ke Jakarta. Dari Kediri, ada KH. Abdul Karim, Lirboyo, KH. Ma'ruf, Kedunglo, dan KH. Abu Bakar, Bandar Kidul, yg waktu itu diantar K. Abdul Majid Ma'ruf.
Tujuan Jepang menghimpun para ulama tadi adalah utk membentuk Shumubu (Jawatan Agama Pusat) dan Shumuba (Jawatan Agama Daerah). Shumubu kemudian diketuai KH. Hasyim Asy'ari. Bagi ulama, jawatan ini dimanfaatkan sebagai tempat bergerak utk koordinasi antar ulama daerah agar berjalan baik. Walhasil, utk mempertahankan kemerdekaan yg telah dicapai, KH. Hasyim Asy'ari dapat memanggil ulama seluruh Jawa utk menetapkan Resolusi Jihad di Surabaya, pada permulaan Oktober 1945.
KH. Abdul Karim beserta dua karibnya, KH. Ma'ruf dan KH. Abu Bakar juga ikut menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah. Disamping itu, KH. Abdul Karim juga mengirim sejumlah santri ikut bertempur di medan laga. Dua kali ke Surabaya dg 97 orang pada gelombang pertama dan 74 orang pada gelombang kedua. Selain itu, sekali ke Sidoarjo dg jumlah pasukan 30 orang santri.
Begitu juga waktu pelucutan tentara Jepang di Kediri. Berkat do'a dan tetesan air mata, pasukan yg berjumlah 440 orang dipimpin Mayor Mahfudh mampu melumpuhkan tentara Jepang sehingga menyerah tanpa syarat pada pukul 03.00 dini hari.
Begitulah keterlibatan KH. Abdul Karim dalam mempertahankan kemerdekaan. Beliau seorang ulama yg mempunyai rasa kebangsaan yg tinggi. Ketika di Madiun terjadi pemberontakan PKI, 18 September 1948, beliau pun tak luput dari usaha penculikan. Alhamdulillah, perbuatan makar yg dilakukan sebelum Shubuh itu gagal. Karena, ketika para penculik masuk ke ndalem, beliau berteriak "Maling!" tentu saja, dalam sekejap banyak santri berdatangan dan berusaha mengejarnya. Sayang, "maling nyawa" itu tak tertangkap.
KH. Abdul Karim sebenarnya seorang ulama yg tidak pernah absen dalam perjuangan. Hanya karena sifat khumul dan lillahi ta'ala, perjuangan beliau lebih banyak di garis belakang. Namun, pernah juga beliau tampil di garis depan. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945 M), ulama dari berbagai daerah dipanggil ke Jakarta. Dari Kediri, ada KH. Abdul Karim, Lirboyo, KH. Ma'ruf, Kedunglo, dan KH. Abu Bakar, Bandar Kidul, yg waktu itu diantar K. Abdul Majid Ma'ruf.
Tujuan Jepang menghimpun para ulama tadi adalah utk membentuk Shumubu (Jawatan Agama Pusat) dan Shumuba (Jawatan Agama Daerah). Shumubu kemudian diketuai KH. Hasyim Asy'ari. Bagi ulama, jawatan ini dimanfaatkan sebagai tempat bergerak utk koordinasi antar ulama daerah agar berjalan baik. Walhasil, utk mempertahankan kemerdekaan yg telah dicapai, KH. Hasyim Asy'ari dapat memanggil ulama seluruh Jawa utk menetapkan Resolusi Jihad di Surabaya, pada permulaan Oktober 1945.
KH. Abdul Karim beserta dua karibnya, KH. Ma'ruf dan KH. Abu Bakar juga ikut menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah. Disamping itu, KH. Abdul Karim juga mengirim sejumlah santri ikut bertempur di medan laga. Dua kali ke Surabaya dg 97 orang pada gelombang pertama dan 74 orang pada gelombang kedua. Selain itu, sekali ke Sidoarjo dg jumlah pasukan 30 orang santri.
Begitu juga waktu pelucutan tentara Jepang di Kediri. Berkat do'a dan tetesan air mata, pasukan yg berjumlah 440 orang dipimpin Mayor Mahfudh mampu melumpuhkan tentara Jepang sehingga menyerah tanpa syarat pada pukul 03.00 dini hari.
Begitulah keterlibatan KH. Abdul Karim dalam mempertahankan kemerdekaan. Beliau seorang ulama yg mempunyai rasa kebangsaan yg tinggi. Ketika di Madiun terjadi pemberontakan PKI, 18 September 1948, beliau pun tak luput dari usaha penculikan. Alhamdulillah, perbuatan makar yg dilakukan sebelum Shubuh itu gagal. Karena, ketika para penculik masuk ke ndalem, beliau berteriak "Maling!" tentu saja, dalam sekejap banyak santri berdatangan dan berusaha mengejarnya. Sayang, "maling nyawa" itu tak tertangkap.
*Tak Sehat Tetap
Berangkat dan Selamat
Sekitar tahun lima puluhan, usia KH. Abdul Karim sudah hampir satu abad, usia yg lebih rata2 dan telah menunjukkan kerentaan serta kelelahan hidup. Namun, bagi beliau, justru menambah keramahan dan kedekatan kepada Allah swt., Sang Pencipta. Sehingga, di usia yg cukup senja itu, KH. Abdul Karim berkeinginan menunaikan ibadah haji lagi sekalian menyertai Ibu Nyai.
Pada Tahun 1952 M, keinginan itu terkabul juga. Keberangkatan beliau ke tanah suci yg kedua ini sebenarnya atas jasa baik anak angkatnya, Haji Khozin, yg juga hendak menunaikan haji dan bersedia mendampingi beliau berdua di perjalanan hingga di Tanah Suci. Setelah tiba saatnya berangkat, KH. Abdul Karim dan Ibu Nyai menuju Surabaya diantar oleh hampir seluruh santri ke stasiun Kediri. Acara keberangkatan ke tanah suci itu cukup mengharukan.
Namun, sesampai di Surabaya dan masuk karantina haji, kondisi fisik beliau tampak lemah sehingga tim dokter meragukan kesehatan beliau dlm menunaikan haji. Akhirnya, dg hati yg berat, beliau tdk diperbolehkan berangkat. Sungguh, hal tersebut merupakan kekecewaan yg teramat dalam. Tapi, beliau tdk putus harapan. Segala upaya dilakukan utk menembus birokrasi agar tetap bisa berangkat dg Ibu Nyai.
Di Lirboyo, usaha utk menjalankan ihram pada tahun ini terus dilakukan beliau dg mengadakan istighatsah. Bersama seluruh santri memohon kepada Allah swt. agar diberi kemudahan utk sampai di Makkah dan Madinah, dg sehat wal afiat. "Allahumma ballighna Makkata wal Madinata bissalamah wal 'afiah". Do'a ini terus dipanjatkan beliau berulang kali.
Sementara itu, salah seorang menantu beliau, KH. Mahrus Aly, yg cukup luas hubungannya dg pemerintah mencoba menembus birokrasi langsung ke Jakarta menemui menteri agama yg waktu itu dijabat oleh KH. Wahid Hasyim. Alhamdulillah, semua itu tdk sia2. Akhirnya, KH. Abdul Karim positif dapat berangkat haji dari Jakarta. Betapa suka cita Lirboyo saat itu.
Tapi, pada giliran pemberangkatan, mendadak suasana berubah mencekam. KH. Abdul Karim yg cukup sepuh itu saat pamitan mengutarakan keinginan utk dapat meninggal di Tanah Suci. Tentu, seluruh keluarga dan para santri seperti tak tega melepas kiai yg sangat mereka cintai. Maka setelah keberangkatan beliau, Kiai Mahrus Aly senantiasa mengajak para santri utk terus berdoa agar Kiai Sepuh dpt kembali ke Lirboyo dg selamat.
Sesampai di Jakarta, sebelum berangkat ke Arab Saudi, beliau sempat menginap di kediaman KH. Wahid Hasyim yg tdk lain adalah murid beliau, juga putra sahabat beliau sendiri. Kiai Wahid inilah yg banyak membantu beliau. Dan berkat bantuan Kiai Wahid yg tiga kali mjdi menteri agama ini, beliau mendapat pelayanan dan fasilitas istimewa, baik di kapal maupun di Tanah Suci. Tapi, semua itu tdk beliau manfaatkan. Beliau tetap menjalankan riyadlah. Bahkan, di Tanah Suci pun, beliau masih suka berpuasa, jarang makan, hingga beliau pernah pingsan. Dan jika ditanya mengapa demikian, jawab beliau enteng, "Ben garing awakku lan isa mati ana Makkah". Artinya, biar kering badanku dan bisa mati di Makkah.
Tapi, ajal di tangan Allah swt. Tidak bisa dipercepat atau diperlambat. KH. Abdul Karim yg berhasrat bisa menghadap Ilahi di Tanah Suci, akhirnya tiba kembali di tanah air dg selamat. Tak terbendunglah kebahagiaan dan puki syukur mewarnai Lirboyo karena Kiai Sepuh telah kembali di tengah keluarga dan para santri dalam keadaan sehat wal afiat.
Sekitar tahun lima puluhan, usia KH. Abdul Karim sudah hampir satu abad, usia yg lebih rata2 dan telah menunjukkan kerentaan serta kelelahan hidup. Namun, bagi beliau, justru menambah keramahan dan kedekatan kepada Allah swt., Sang Pencipta. Sehingga, di usia yg cukup senja itu, KH. Abdul Karim berkeinginan menunaikan ibadah haji lagi sekalian menyertai Ibu Nyai.
Pada Tahun 1952 M, keinginan itu terkabul juga. Keberangkatan beliau ke tanah suci yg kedua ini sebenarnya atas jasa baik anak angkatnya, Haji Khozin, yg juga hendak menunaikan haji dan bersedia mendampingi beliau berdua di perjalanan hingga di Tanah Suci. Setelah tiba saatnya berangkat, KH. Abdul Karim dan Ibu Nyai menuju Surabaya diantar oleh hampir seluruh santri ke stasiun Kediri. Acara keberangkatan ke tanah suci itu cukup mengharukan.
Namun, sesampai di Surabaya dan masuk karantina haji, kondisi fisik beliau tampak lemah sehingga tim dokter meragukan kesehatan beliau dlm menunaikan haji. Akhirnya, dg hati yg berat, beliau tdk diperbolehkan berangkat. Sungguh, hal tersebut merupakan kekecewaan yg teramat dalam. Tapi, beliau tdk putus harapan. Segala upaya dilakukan utk menembus birokrasi agar tetap bisa berangkat dg Ibu Nyai.
Di Lirboyo, usaha utk menjalankan ihram pada tahun ini terus dilakukan beliau dg mengadakan istighatsah. Bersama seluruh santri memohon kepada Allah swt. agar diberi kemudahan utk sampai di Makkah dan Madinah, dg sehat wal afiat. "Allahumma ballighna Makkata wal Madinata bissalamah wal 'afiah". Do'a ini terus dipanjatkan beliau berulang kali.
Sementara itu, salah seorang menantu beliau, KH. Mahrus Aly, yg cukup luas hubungannya dg pemerintah mencoba menembus birokrasi langsung ke Jakarta menemui menteri agama yg waktu itu dijabat oleh KH. Wahid Hasyim. Alhamdulillah, semua itu tdk sia2. Akhirnya, KH. Abdul Karim positif dapat berangkat haji dari Jakarta. Betapa suka cita Lirboyo saat itu.
Tapi, pada giliran pemberangkatan, mendadak suasana berubah mencekam. KH. Abdul Karim yg cukup sepuh itu saat pamitan mengutarakan keinginan utk dapat meninggal di Tanah Suci. Tentu, seluruh keluarga dan para santri seperti tak tega melepas kiai yg sangat mereka cintai. Maka setelah keberangkatan beliau, Kiai Mahrus Aly senantiasa mengajak para santri utk terus berdoa agar Kiai Sepuh dpt kembali ke Lirboyo dg selamat.
Sesampai di Jakarta, sebelum berangkat ke Arab Saudi, beliau sempat menginap di kediaman KH. Wahid Hasyim yg tdk lain adalah murid beliau, juga putra sahabat beliau sendiri. Kiai Wahid inilah yg banyak membantu beliau. Dan berkat bantuan Kiai Wahid yg tiga kali mjdi menteri agama ini, beliau mendapat pelayanan dan fasilitas istimewa, baik di kapal maupun di Tanah Suci. Tapi, semua itu tdk beliau manfaatkan. Beliau tetap menjalankan riyadlah. Bahkan, di Tanah Suci pun, beliau masih suka berpuasa, jarang makan, hingga beliau pernah pingsan. Dan jika ditanya mengapa demikian, jawab beliau enteng, "Ben garing awakku lan isa mati ana Makkah". Artinya, biar kering badanku dan bisa mati di Makkah.
Tapi, ajal di tangan Allah swt. Tidak bisa dipercepat atau diperlambat. KH. Abdul Karim yg berhasrat bisa menghadap Ilahi di Tanah Suci, akhirnya tiba kembali di tanah air dg selamat. Tak terbendunglah kebahagiaan dan puki syukur mewarnai Lirboyo karena Kiai Sepuh telah kembali di tengah keluarga dan para santri dalam keadaan sehat wal afiat.
*Berjamaah dengan
Dipapah
Beberapa waktu setelah KH. Abdul Karim menunaikan ihram yg kedua kali, kondisi beliau yg saat berangkat sudah tdk begitu sehat terganggu lagi. Bahkan, tampak semakin lemah. Di samping itu, usia beliau sudah sangat lanjut. Yang sangat menyedihkan, saraf kaki sebelah beliau tdk berfungsi hingga menyebabkan kelumpuhan. Hal itu berlangsung cukup lama. Hampir dua setengah tahun.
Namun, hari2 sakit beliau yg panjang itu dilalui dg tabah. Baliau tdk pernah meninggalkan tugas sehari-hari. Memberi pengajian dan mengimami jamaah. Dengan berjalan tertatih-tatih, kelumpuhan kaki beliau tdk membuat tanggung jawab beliau lumpuh. Justru hal ini membuat banyak santri tdk tega sehingga ada satu-dua orang yg memberanikan diri memapah beliau. Akhirnya, karena penyakit beliau kian hari kian serius, pihak keluarga meminta salah seorang santri utk menjaga dan memapah beliau ketika hendak berjamaah. Santri yg setia itu bernama Bahri Munawi.
Satu minggu setelah masuk bulan Ramadlan tahun 1374 H, sakit KH. Abdul Karim semakin kritis hingga tak mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam berjamaah. Suasana haru nan sedih kian menyelimuti Lirboyo saat kepada setiap orang yg menjenguk beliau senantiasa meminta, " Aku dongakna mati iman lan diakoni santrine Kiai Kholil, sebab olehku golek ilmu awit durung baligh". Artinya, doakanlah saya mati dalam keadaan beriman dan diakui sebagai santri Kiai Kholil, sebab saya mencari ilmu sejak belum baligh.
Beberapa waktu setelah KH. Abdul Karim menunaikan ihram yg kedua kali, kondisi beliau yg saat berangkat sudah tdk begitu sehat terganggu lagi. Bahkan, tampak semakin lemah. Di samping itu, usia beliau sudah sangat lanjut. Yang sangat menyedihkan, saraf kaki sebelah beliau tdk berfungsi hingga menyebabkan kelumpuhan. Hal itu berlangsung cukup lama. Hampir dua setengah tahun.
Namun, hari2 sakit beliau yg panjang itu dilalui dg tabah. Baliau tdk pernah meninggalkan tugas sehari-hari. Memberi pengajian dan mengimami jamaah. Dengan berjalan tertatih-tatih, kelumpuhan kaki beliau tdk membuat tanggung jawab beliau lumpuh. Justru hal ini membuat banyak santri tdk tega sehingga ada satu-dua orang yg memberanikan diri memapah beliau. Akhirnya, karena penyakit beliau kian hari kian serius, pihak keluarga meminta salah seorang santri utk menjaga dan memapah beliau ketika hendak berjamaah. Santri yg setia itu bernama Bahri Munawi.
Satu minggu setelah masuk bulan Ramadlan tahun 1374 H, sakit KH. Abdul Karim semakin kritis hingga tak mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam berjamaah. Suasana haru nan sedih kian menyelimuti Lirboyo saat kepada setiap orang yg menjenguk beliau senantiasa meminta, " Aku dongakna mati iman lan diakoni santrine Kiai Kholil, sebab olehku golek ilmu awit durung baligh". Artinya, doakanlah saya mati dalam keadaan beriman dan diakui sebagai santri Kiai Kholil, sebab saya mencari ilmu sejak belum baligh.
*Senin Kelabu di
Bulan Ramadlan
Hari2 suci di bulan Ramadlan 1374 H terlewati satu persatu dg penuh curahan rahmat & maghfirah (ampunan) bagi umat manusia yg menyambutnya dg keceriaan ibadah. Demikian pula dg santri2 Lirboyo. Di balik itu, tersimpan kedukaan yg dalam di benak mereka. Sudah setengah bulan lebih puasa berlalu, sakit KH. Abdul Karim tak kunjung sembuh, bahkan semakin berat. Walau kondisi KH. Abdul Karim sudah cukup kritis, beliau masih tetap sadar. Beliau selalu menanyakan hari2 yg terlewati kepada sanak keluarga yg setia menunggui. Bila bukan hari senin, segera beliau panjatkan do'a agar Allah swt. tidak memanggil beliau pada hari itu. Tapi, jika hari senin, sontak ada kebahagiaan yg terpancar dari wajah beliau. Dengan suara lirih, beliau berdo'a semoga Allah swt. memanggil beliau pada hari itu juga.
Begitulah saat2 menjelang akhir hayat, KH. Abdul Karim sangat mendambakan bisa meninggal di hari senin seperti kemangkatan Rasulullah saw. Rupanya, Allah swt. mengabulkan do'a beliau. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Pada hari senin ketiga di bulan suci itu, bertepatan dg tanggal 21 Ramadlan 1347 H, sekitar pukul 13.30 wib, beliau dipanggil Yang Maha Kuasa dlm suasana yg tenang di hadapan keluarga & santri.
Awan kedukaan begitu kelabu menyelimuti Senin itu. Perlahan-lahan lahar air mata pun menetes di bumi Lirboyo. Tamu2 berdatangan dari berbagai penjuru, bertakziah, dan memberikan penghormatan terakhir kepada KH. Abdul Karim. Semakin sore pelayat semakin membanjir. Pemakaman terpaksa juga ditunda mengingat jumlah pelayat yg tak terkira.
Baru pukul 22.00 wib jenazah beliau dikebumikan di makam keluarga di sebelah barat masjid Agung Lirboyo. Jenazah yg sedari siang disemayamkan di masjid dipindah dulu di kediaman beliau utk memberikan kesempatan kepada ahli bait menghaturkan penghormatan yg terakhir. Di liang lahat jenazah beliau disambut oleh kedua menantu beliau, Kiai Marzuqi Dahlan dan Kiai Mahrus Aly, dg dibantu cucunda Agus Ahmad Hafidh.
Keheningan sangat terasa saat upacara pemakaman berlangsung. Tapi, saat pembacaan talqin hampir usai, mendadak suasana sedikit berubah. KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Am NU saat itu, ketika membacakan talqin menyisipkan kata2 yg menggelitik, "Kiai Abdul Karim, menawi malaikat tanglet punapa partai sampeyan, jawab kanti teges partai kula NU!" Kemudian KH. Abdul Wahab juga berkata: "Sepeninggal Kiai Abdul Karim hendaknya kita selalu mengenang jasa2 dan amal beliau serta berusaha utk menjalankan dan meneruskan perjuangannya".
Tantu talqin partai itu bukan ditujukan kepada almarhum, tapi kepada hadirin yg mengikuti prosesi pemakaman. Maklum, waktu itu, NU (Nahdlatul Ulama) sedang gencar2nya berkampanye menghadapi pemilu yg pertama dg lawan berat, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia).
Walaupun KH. Abdul Karim tdk duduk di kepengurusan NU, tapi beliau selalu menjunjung tinggi organisasi para ulama ini. Maka, dalam sambutan yg disampaikan usai pemakaman itu, KH. Wahab Hasbullah menegaskan bahwa sepeninggal KH. Abdul Karim hendaknya kita meresapi dan mengenang jasa dan amal baik beliau. Berupaya mengambil suri teladan dari jejak perjuangan beliau. Dalam kesempatan lain, KH. Mahrus Aly lebih menekankan agar santri dan alumni Lirboyo seharusnya bisa meniru beliau meskipun hanya sedikit. Miasalnya, sepuluh atau lima persen saja.
KH. Abdul Karim adalah salah
seorang ulama besar yg kehidupannya diwarnai berbagai sifat luhur sehingga
banyak ulama menyatakan kekagumannya. Diantaranya, KH. Ma'ruf, Kedunglo.
Menurut beliau, KH. Abdul Karim sebenarnya bertabiat keras, tapi penyabar. Dan
ilmunya biasa2 saja, tapi istiqamah serta zuhud. Sehingga, karena zuhud itu,
beliau sama sekali tidak kenal uang. Demikian menurut keterangan Kiai Mahrus
Aly. Bahkan menurut kisah KH. Abdul Aziz Manshur, rumah beliau pernah hampir
roboh karena rusak berat, namun beliau diam saja hingga Ibu Nyai yg
memperbaiki.Hari2 suci di bulan Ramadlan 1374 H terlewati satu persatu dg penuh curahan rahmat & maghfirah (ampunan) bagi umat manusia yg menyambutnya dg keceriaan ibadah. Demikian pula dg santri2 Lirboyo. Di balik itu, tersimpan kedukaan yg dalam di benak mereka. Sudah setengah bulan lebih puasa berlalu, sakit KH. Abdul Karim tak kunjung sembuh, bahkan semakin berat. Walau kondisi KH. Abdul Karim sudah cukup kritis, beliau masih tetap sadar. Beliau selalu menanyakan hari2 yg terlewati kepada sanak keluarga yg setia menunggui. Bila bukan hari senin, segera beliau panjatkan do'a agar Allah swt. tidak memanggil beliau pada hari itu. Tapi, jika hari senin, sontak ada kebahagiaan yg terpancar dari wajah beliau. Dengan suara lirih, beliau berdo'a semoga Allah swt. memanggil beliau pada hari itu juga.
Begitulah saat2 menjelang akhir hayat, KH. Abdul Karim sangat mendambakan bisa meninggal di hari senin seperti kemangkatan Rasulullah saw. Rupanya, Allah swt. mengabulkan do'a beliau. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Pada hari senin ketiga di bulan suci itu, bertepatan dg tanggal 21 Ramadlan 1347 H, sekitar pukul 13.30 wib, beliau dipanggil Yang Maha Kuasa dlm suasana yg tenang di hadapan keluarga & santri.
Awan kedukaan begitu kelabu menyelimuti Senin itu. Perlahan-lahan lahar air mata pun menetes di bumi Lirboyo. Tamu2 berdatangan dari berbagai penjuru, bertakziah, dan memberikan penghormatan terakhir kepada KH. Abdul Karim. Semakin sore pelayat semakin membanjir. Pemakaman terpaksa juga ditunda mengingat jumlah pelayat yg tak terkira.
Baru pukul 22.00 wib jenazah beliau dikebumikan di makam keluarga di sebelah barat masjid Agung Lirboyo. Jenazah yg sedari siang disemayamkan di masjid dipindah dulu di kediaman beliau utk memberikan kesempatan kepada ahli bait menghaturkan penghormatan yg terakhir. Di liang lahat jenazah beliau disambut oleh kedua menantu beliau, Kiai Marzuqi Dahlan dan Kiai Mahrus Aly, dg dibantu cucunda Agus Ahmad Hafidh.
Keheningan sangat terasa saat upacara pemakaman berlangsung. Tapi, saat pembacaan talqin hampir usai, mendadak suasana sedikit berubah. KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Am NU saat itu, ketika membacakan talqin menyisipkan kata2 yg menggelitik, "Kiai Abdul Karim, menawi malaikat tanglet punapa partai sampeyan, jawab kanti teges partai kula NU!" Kemudian KH. Abdul Wahab juga berkata: "Sepeninggal Kiai Abdul Karim hendaknya kita selalu mengenang jasa2 dan amal beliau serta berusaha utk menjalankan dan meneruskan perjuangannya".
Tantu talqin partai itu bukan ditujukan kepada almarhum, tapi kepada hadirin yg mengikuti prosesi pemakaman. Maklum, waktu itu, NU (Nahdlatul Ulama) sedang gencar2nya berkampanye menghadapi pemilu yg pertama dg lawan berat, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia).
Walaupun KH. Abdul Karim tdk duduk di kepengurusan NU, tapi beliau selalu menjunjung tinggi organisasi para ulama ini. Maka, dalam sambutan yg disampaikan usai pemakaman itu, KH. Wahab Hasbullah menegaskan bahwa sepeninggal KH. Abdul Karim hendaknya kita meresapi dan mengenang jasa dan amal baik beliau. Berupaya mengambil suri teladan dari jejak perjuangan beliau. Dalam kesempatan lain, KH. Mahrus Aly lebih menekankan agar santri dan alumni Lirboyo seharusnya bisa meniru beliau meskipun hanya sedikit. Miasalnya, sepuluh atau lima persen saja.
KH. Abdul Karim mempunyai delapan keturunan. Enam perempuan dan dua laki2. Kedua keturunan laki2 ini meninggal semenjak masih muda. Kedelapan putri beliau adalah:
1. Nyai Hannah yg menikah dg KH. Abdullah.
2. Nawawi (meninggal dunia saat menimba ilmu di Makkah).
3. Nyai Hj, Salamah yg menikah dg KH. Manshur Anwar.
4. Abdullah (meninggal sewaktu masih muda).
5. Nyai Hj. Aisyah yg menikah dg KH. Jauhari.
6. Nyai Maryam yg menikah dg KH. Marzuqi Dahlan (Penerus PP. Lirboyo).
7. Nyai Hj. Zainab yg menikah dg KH. Mahrus Aly (Penerus PP. Lirboyo).
8. Nyai Hj. Qomariyah yg menikah dg KH. Zaini, setelah KH. Zaini wafat, beliau dinikah oleh KH. Marzuqi Dahlan yg saat itu sudah berstatus duda.
Begitulah kisah sang pendiri sejati, KH. Abdul Karim, yg memulai segalanya dari bawah hingga mampu meletakkan tonggak sejarah pesantren. Juga menciptakan dinasti yg kini meneruskan estafet beliau. Dan yg lebih tak ternilai lagi, beliau telah mampu menorehkan sebuah nama besar, yaitu Pondok Pesantren Lirboyo dlm dunia pendidikan. Tiap hari ribuan santri menimba ilmu dan sejuta hikmah di dalamnya. Penuturan manaqib beliau ini mudah2an menambah kecintaan kita kepada beliau. Dan kelak di akhirat kita dapat berkumpul dengan beliau. Semoga.
Tersanjung do'a kepada almarhum almaghfurlah KH. Abdul Karim selalu dan selamnya. Alfaatihah...
Syukur2
ada yg mau baca. Kata Kyaiku: orang yg membaca sejarahnya orang 'alim sama saja
menziarahi orang 'alim tersebut.
Sumber: buku Pesantren Lirboyo.
Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda.Semoga bermanfaat.
Terima kasih atas kisah sang kyai yg mashur itu. Salam dari keuarga Magelang. suwun.
ReplyDelete