BIOGRAFI KH.
MUHAMMAD SANUSI
KH. Muhammad Sanusi, atau masyhur
dengan panggilan Embah sanusi, merupakan kiai kharismatik bumi pesantren
Babakan Ciwaringin Cirebon yang terkenal akan kedisiplinan dan
keistiqomahannya, juga terkenal sebagai kiai yang tawadlu', Embah yang pada
masa kecilnya bernama Markab lahir di Desa Winduhaji Kabupaten Kuningan Jawa
Barat, pada malam Jum'at 14 Rabi'ul Awwal 1322 H. (12 Januari 1904 M.). Embah
merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara yang lahir setelah 12 bulan berada
dalam kandungan ibunda beliau, Ny. Asnita binti Kuwu K. Kauri (Saceperwata),
yang menikah dengan K. Agus Ma’ani bin Aki Natakariya bin K. Asmaludin. Pada
usia 10 tahun Embah bersekolah di Sekolah Rakyat(SR) Desa Ciporang,yakni sebuah
desa di sebelah timur Desa Winduhaji. Dan bila waktu sore tiba, melanjutkan
belajarnya dengan mengaji di Pesantren Kiai Ghazali,Cikedung. Beliau lakukan
rutinitas tersebut hingga pada 10 Juli 1915 menerima Surat Tanda Tamat
Belajar(STTB) dari SR dengan meraih peringkat satu. Dari SR, melanjutkan
belajarnya di Sekolah Dinas (Sekolah Calon Birokrat) di Kuningan. Di Sekolah
ini kendati beliau tidak mahir dalam bernyanyi, namun bakat tulis-menulisnya
mulai muncul, itu beliau buktikan dengan memenangkan kejuaraan Komponis atau
Penulis Lagu Terbaik. Pada 1919, Embah mulai mesantren kepada Kiai Damanhuri
Pakebon. Setelah enam bulan menggali ilmu Agama Allah di Pesantren Kiai
Damanhuri, melanjutkan ke Kiai Zen di Pondok Pesantren Sarajaya Karangsembung
Sindanglaut, Cirebon. Usia Embah baru menginjak 15 tahun. Tatkal tengah khusyu’
mengaji, yang pada saat itu Embah mendapatkan didikan khusus, sebab memperoleh
kamar yang juga ditempati oleh Kiainya, sehingga secara langsung bisa
meneladani segala perilaku terpuji yang Kiai teladankan,beliau mendapat kabar
bahwa Ny. Asnita, ibunda tercinta sedang sakit dan beliau disuruh pulang.
Padahal, baru setengah tahun Embah mesantren. Tekunnya beliau dalam mengaji,
hingga ibundanya sakit pun enggan untuk meninggalkan pesantren. Akhirnya,
setelah tiga kali diberi tahu, beliau dijemput paksa oleh saudaranya, Bapak
Kerta Adiwangsa. Itu pun Embah masih mempertimbangkan antara pulang dan tetap
di pesantren, yang kemudian beliau memohon izin dan pertimbangan kepada Kiai
Zen. Dan akhirnya Kiai menyuruhnya untuk pulang, sebab masalah panjang pendeknya
umur tiada yang tahu, soal mengaji bisa disusul(ditambal, istilah pesantren
untuk mengejar ketertinggala). Beliau punpulang, menemui ibunda tercinta.
Setelah beberapa hari berada di Winduhaji, benar saja ibunda beliau pulang ke
haribaan Allah SWT. Duka ditinggalkan ibunda tercinta, bagi Embah bukan
penghalang untuk terus menggali keilmuan. Maka, tiga hari setelah bepulangnya
ibunda tercinta, beliau berangkat lagi ke Sarajaya.
Semakin tinggi ilmu dan keimanan
seseorang, semakin besar ujian menghadang.
Itulah pepatah yang mewakili
pengembaraan Embah dalam menuntut ilmu, sebab rintangan dan godaan yang beliau
hadapi semakin bertambah. Antara lain, adanya seorang santri asal Brebes yang
selalu mengancam keselamatan beliau, juga datangnya penyakit kulit yang
menjijikan, mengakibatkan beliau dijauhi oleh sesama santri yang lain.
Sehingga, kamar Embah terpaksa harus dipisahkan, yaitu menempati langit-langit
kamar. Juga, bila pengajian dimulai Embah tidak bersama santri yang lain, namun
berada di kolong Masjid.
Mendengar Embah yang demikian itu,
ayahandanya menyuruh Embah untuk pulang. Namun, Embah bersikukuh tidak mau
pulang. Embah berkeyakinan bahwa penyakit ini hanyalah cobaan belaka yang harus
dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakkal. Setelah cukup lama menuntut ilmu
di Pesantren Sarajaya dan di anggap mumpuni dalam bidang mengaji khususnya,
Kiai memanggil Embah dan mengatakan bahwa saudaranya yang bernama H. Ma’ruf
telah berulang kali datang meminta Embah untuk menjadi menantunya. Hingga
akhirnya Embah menuruti kehendak Kiai, yakni menikah dengan Ny. Qona’ah putri
H. Ma’ruf, sebagai wujud sam’an wa tha’atan Embah pada Kiai, juga atas izin dan
restu orang tuanya.
Tidak berhenti sampai di situ
pengembaraan Embah dalam menggali dan (turut) menghidupkan keilmuan Agama Allah
SWT. Maka, atas restu dan keikhlasan istri dan mertua, Embah melanjutkan
pengembaraannya ke Pesantren Cikalong, Tasikmalaya. Begitu besar semangat Embah
dalam menuntut ilmu hingga rela meninggalkan sang istri, dan atas kehendak
Allah pula, untuk lebih thuma’ninah dalam mengaji, akhirnya Embah harus
berpisah dengan Ny. Qona’ah, istrinya. Embah bercerai. Pada Rabu, 4 Sya’ban
1341 H. (1922 M.), Embah pindah mesantren ke Pondok Pesantren Babakan
Ciwaringin Cirebon. Jumlah santri kala itu baru ada 60 orang dengan Lurah
Pondok oleh K. Nawawi dari Pinangraja, Majalengka. Sedang Pengasuh Pondoknya
adalah KH. Ismail bin KH.Adra’I, KH.Dawud, KH.Muhammad (cucu KH.Adra’i), dan
KH.Amin Sepuh (buyut KH.Adra’i) yang saat itu baru mempunya 2 orang putera,
yaitu Ma’sum (3 tahun) dan Fathoni (1 tahun).
Karena di anggap banyak ide dan
inisiatif, Embah mendapat kepercayaan dari Kiai untuk Menjadi Lurah Pondok.
Sebabnya dalam suasan Pondok Pesantren Babakan kala itu begitu kumuh, terlalu
bebas dan padat (karena satu kamar kadang-kadang dihuni oleh 15-20 santri).
Untuk itu, atas izin Kiai, Embah mulai ikut serta membenahi dengan cara
mengatur kebersihan pondok – membuat jadwal piket jaga/menyapu, membuat
peraturan mengenai tugas-tugas tukang lampu/juru kunci pintu pesantren/petugas
kebersihan kamar mandi/WC, membuat tata tertib (kewajiban, larangan serta
berbagai sangsi-sangsinya), serta mengadakan pemerataan hunian asrama santri.
Pada Senin 10 Syawal 1344 H. (1926
M.) Embah dinikahkan dengan Ny. Hj. Sa’adah binti KH. Ali bin K. Masinah, janda
K. Halif (dari Desa Lontang Jaya) yang sudah mempunya seorang putra yaitu K.
Athaillah. Ny. Sa’adah adalah kakak ipar Kiai sendiri. Walau secara status
keluarga, Embah adalah saudara tua, tapi karena ta’dhim kepada guru, maka
Kiailah yang dianggap/disebut Kiai Sepuh (tua), sedang Embah di kemudian hari,
dikenal dengan sebutan Kiai Anom (muda).
Dua Perintah Sembilan Larangan
Embah
Dalam pengabdiannya untuk agam,
bangsa dan Negara, Embah terkenal sebagai sosok Kiai yang kharismatik, tawadlu’
dan istiqamah. Dahulu, ketika datang waktu sore hari banyak santri yang
memanfaatkan waktunya untuk berolah raga, seperti main bola volley atau sepak
bola, yang kadang-kadang berdampak negatif. Karena asiknya bermain, lalu
kebablasan, akibatnya banyak santri yang tidak bisa mengikuti shalat maghrib
berjama’ah. Kalau kebetulan santri sedang bermain, tiba-tiba dari kejauhan
terlihat Embah berjalan mendekatinya, maka tanpa di komando lagi para santri
lari berhamburan mencari tempat persembunyian. Karena, mereka tahu betul bahwa
hal seperti itu sangat tidak disukai oleh Embah. Bahkan, ada pemeo yang
mengatakan bahwa mendengar “batuk”-nya Embah saja, santri yang melakukan
perbuatan yang tidak disukai oleh Embah, akan lari terbirit-birit. Itulah, betapa
Embah memiliki kharisma.
Walaupun demikian kharismatiknya,
namun sifat tawadlu’ Embah patut diacungi jempol dan dijadikan uswah hasanah,
seperti kepada seniornya KH. Amin Sepuh. Setiap kali berjama’ah shalat fardlu
ataupun pada kesempatan lain, jika kebetulan bersama, Embah pasti selalu saja
berada di belakang beliau, tidak pernah mendahuluinya. Bahkan, bukan hanya
orangnya, tapi sandalnya jika kebetulan berada pada tempat yang sama, tidak
pernah berada di depan sandal Kiai. Ini dilakuakn selama hayatnya (thul
al-hayat).
Menurut KH. Abdul Syakur Yasin
(Cadangpinggan, Indramayu) bahwa Pondok Pesantren Babakan besar diantaranya
karena Embah Sanusui, dan Embah Sanusui besar karena istiqamah. Istiqamah di
segala bidang. Seperti dalam berjama’ah, kendati pun Embah sedang bertamu di
luar daerah, bila sudah mendekati waktu shalat, Embah pasti akan minta izin
pulang supaya bisa shalat berjama’ah bersama santri. Sebelum memulai shalat
berjama’ah, biasanya Embah memberi aba-aba: “rapet, lempeng”, artinya rapatkan
dan luruskan shaf/barisan supaya tidak disusupi oleh setan.
Nasihat Embah kepada para santri,
anak-anak, maupun kepada cucu-cucunya, yaitu: “ornag yang sedang mencari ilmu,
apabila ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, harus menjalani
aturan-aturannya, supaya mendapat ridla dari Allah SWT. Serta mendapat do’a dan
berkah dari Ulama Shalihin, untuk itu harus”wekel ngaji lan jama’ah”.
Bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu supaya cepat pandai. Tekun berjama’ah
supaya benar kelakuannya (dua perintah).
Setelah pandai dan benar
kelakuannya, baru dinamakan orang yang shalih mendapat anugerah selamat,
bahagia dunia dan mulia bagi diri sampai anak cucunya. Arti Selamat ialah tidak
di siksa baik di dunia maupun di akhirat. Bahagia berarti segala yang
dicita-citakan akan tercapai dan mulia berarti tidak di hina orang bahkan
sebaliknya, akan disegani dan dihormati. Larangan-larangan orang yang sedang
mencari ilmu ada 9 (Sembilan), yaitu:
1. Aja olok jajan (jangan boros
jajan). Belanja harus dibatasi, jangan menuruti hawa afsu. Karena jika dituruti
akan berdampak orang tua tidak mampu lagi untuk membekalinya, sehingga berefek
drop out belajarnya.
2. Aja doyan turu (jangan banyak
tidur). Karena akan berakibat hatinya keras dan otaknya tumpul. Waktu tidur
sehari semalam harus diatur, paling banyak 6 jam, yaitu dari pukul 22.00
s.d.04.00.
3. Aja lok plesiran (jangan suka
rekreasi). Karena akan mengakibatkan hatinya beku tidak ingin pandai.
4. Aja sok nonton (jangan suka
nonton). Sekalipun tontonan kecil, karena tontonan itu kesenangan hawa nafsu,
kalau dituruti akan lupa pada belajar.
5. Aja lok melu bal (jangan suka
ikut maen bola). Juga hal yang serupa dengan itu, akibatnya akan selalu
ketinggalan mengaji dan berjama'ah.
6. Aja lok jambulan lan tinggal
topong (jangan memelihara rambut dan menanggalkan kopiah). Karena hukumnya
makruh, akibatnya sifat kekanak-kanakannya akan terbawa sampai usia senja,
karena apabila rambut sudah sekira 5 cm, harus segera dicukur.
7. Aja lok ngenggo serowal pokek
(jangan suka memakai celana pendek). Karena nanti akan merasa seperti
anak-anak, akibatnya tidak punya rasa malu.
8. Aja sering balik (jangan sering
pulang). Akibatnya tidak betah tinggal dipesantren. Pulang diizinkan minimal 6
bulan sekali.
9. Aja ngalih/boyong yen durung
pinter (jangan pindah/pulang sebelum pandai). Minimal dalam satu pesantren 7
tahun, apabila kurang dari itu, kurang bisa dipertanggung jawabkan hasiln ya.
Contohnya: Orang yang sedang
menggali sumur. Jika baru satu-dua meter pindah, tentu tidak akan mendapatkan
air. Bahkan sepuluh kali pindahan air tidak akan keluar . Begitupun dalam
m,encari ilmu, tekuni dan bersabar, jangan pindah-pindah sebelum berhasil.
Wallaahu Almuwaffiq Illaa
Aqwaamith Thaariq.