Sunday, July 30, 2017

BIOGRAFI KH. MUHAMMAD SANUSI



BIOGRAFI KH. MUHAMMAD SANUSI

KH. Muhammad Sanusi, atau masyhur dengan panggilan Embah sanusi, merupakan kiai kharismatik bumi pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang terkenal akan kedisiplinan dan keistiqomahannya, juga terkenal sebagai kiai yang tawadlu', Embah yang pada masa kecilnya bernama Markab lahir di Desa Winduhaji Kabupaten Kuningan Jawa Barat, pada malam Jum'at 14 Rabi'ul Awwal 1322 H. (12 Januari 1904 M.). Embah merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara yang lahir setelah 12 bulan berada dalam kandungan ibunda beliau, Ny. Asnita binti Kuwu K. Kauri (Saceperwata), yang menikah dengan K. Agus Ma’ani bin Aki Natakariya bin K. Asmaludin. Pada usia 10 tahun Embah bersekolah di Sekolah Rakyat(SR) Desa Ciporang,yakni sebuah desa di sebelah timur Desa Winduhaji. Dan bila waktu sore tiba, melanjutkan belajarnya dengan mengaji di Pesantren Kiai Ghazali,Cikedung. Beliau lakukan rutinitas tersebut hingga pada 10 Juli 1915 menerima Surat Tanda Tamat Belajar(STTB) dari SR dengan meraih peringkat satu. Dari SR, melanjutkan belajarnya di Sekolah Dinas (Sekolah Calon Birokrat) di Kuningan. Di Sekolah ini kendati beliau tidak mahir dalam bernyanyi, namun bakat tulis-menulisnya mulai muncul, itu beliau buktikan dengan memenangkan kejuaraan Komponis atau Penulis Lagu Terbaik. Pada 1919, Embah mulai mesantren kepada Kiai Damanhuri Pakebon. Setelah enam bulan menggali ilmu Agama Allah di Pesantren Kiai Damanhuri, melanjutkan ke Kiai Zen di Pondok Pesantren Sarajaya Karangsembung Sindanglaut, Cirebon. Usia Embah baru menginjak 15 tahun. Tatkal tengah khusyu’ mengaji, yang pada saat itu Embah mendapatkan didikan khusus, sebab memperoleh kamar yang juga ditempati oleh Kiainya, sehingga secara langsung bisa meneladani segala perilaku terpuji yang Kiai teladankan,beliau mendapat kabar bahwa Ny. Asnita, ibunda tercinta sedang sakit dan beliau disuruh pulang. Padahal, baru setengah tahun Embah mesantren. Tekunnya beliau dalam mengaji, hingga ibundanya sakit pun enggan untuk meninggalkan pesantren. Akhirnya, setelah tiga kali diberi tahu, beliau dijemput paksa oleh saudaranya, Bapak Kerta Adiwangsa. Itu pun Embah masih mempertimbangkan antara pulang dan tetap di pesantren, yang kemudian beliau memohon izin dan pertimbangan kepada Kiai Zen. Dan akhirnya Kiai menyuruhnya untuk pulang, sebab masalah panjang pendeknya umur tiada yang tahu, soal mengaji bisa disusul(ditambal, istilah pesantren untuk mengejar ketertinggala). Beliau punpulang, menemui ibunda tercinta. Setelah beberapa hari berada di Winduhaji, benar saja ibunda beliau pulang ke haribaan Allah SWT. Duka ditinggalkan ibunda tercinta, bagi Embah bukan penghalang untuk terus menggali keilmuan. Maka, tiga hari setelah bepulangnya ibunda tercinta, beliau berangkat lagi ke Sarajaya.


Semakin tinggi ilmu dan keimanan seseorang, semakin besar ujian menghadang.
Itulah pepatah yang mewakili pengembaraan Embah dalam menuntut ilmu, sebab rintangan dan godaan yang beliau hadapi semakin bertambah. Antara lain, adanya seorang santri asal Brebes yang selalu mengancam keselamatan beliau, juga datangnya penyakit kulit yang menjijikan, mengakibatkan beliau dijauhi oleh sesama santri yang lain. Sehingga, kamar Embah terpaksa harus dipisahkan, yaitu menempati langit-langit kamar. Juga, bila pengajian dimulai Embah tidak bersama santri yang lain, namun berada di kolong Masjid.
Mendengar Embah yang demikian itu, ayahandanya menyuruh Embah untuk pulang. Namun, Embah bersikukuh tidak mau pulang. Embah berkeyakinan bahwa penyakit ini hanyalah cobaan belaka yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakkal. Setelah cukup lama menuntut ilmu di Pesantren Sarajaya dan di anggap mumpuni dalam bidang mengaji khususnya, Kiai memanggil Embah dan mengatakan bahwa saudaranya yang bernama H. Ma’ruf telah berulang kali datang meminta Embah untuk menjadi menantunya. Hingga akhirnya Embah menuruti kehendak Kiai, yakni menikah dengan Ny. Qona’ah putri H. Ma’ruf, sebagai wujud sam’an wa tha’atan Embah pada Kiai, juga atas izin dan restu orang tuanya.
Tidak berhenti sampai di situ pengembaraan Embah dalam menggali dan (turut) menghidupkan keilmuan Agama Allah SWT. Maka, atas restu dan keikhlasan istri dan mertua, Embah melanjutkan pengembaraannya ke Pesantren Cikalong, Tasikmalaya. Begitu besar semangat Embah dalam menuntut ilmu hingga rela meninggalkan sang istri, dan atas kehendak Allah pula, untuk lebih thuma’ninah dalam mengaji, akhirnya Embah harus berpisah dengan Ny. Qona’ah, istrinya. Embah bercerai. Pada Rabu, 4 Sya’ban 1341 H. (1922 M.), Embah pindah mesantren ke Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Jumlah santri kala itu baru ada 60 orang dengan Lurah Pondok oleh K. Nawawi dari Pinangraja, Majalengka. Sedang Pengasuh Pondoknya adalah KH. Ismail bin KH.Adra’I, KH.Dawud, KH.Muhammad (cucu KH.Adra’i), dan KH.Amin Sepuh (buyut KH.Adra’i) yang saat itu baru mempunya 2 orang putera, yaitu Ma’sum (3 tahun) dan Fathoni (1 tahun).
Karena di anggap banyak ide dan inisiatif, Embah mendapat kepercayaan dari Kiai untuk Menjadi Lurah Pondok. Sebabnya dalam suasan Pondok Pesantren Babakan kala itu begitu kumuh, terlalu bebas dan padat (karena satu kamar kadang-kadang dihuni oleh 15-20 santri). Untuk itu, atas izin Kiai, Embah mulai ikut serta membenahi dengan cara mengatur kebersihan pondok – membuat jadwal piket jaga/menyapu, membuat peraturan mengenai tugas-tugas tukang lampu/juru kunci pintu pesantren/petugas kebersihan kamar mandi/WC, membuat tata tertib (kewajiban, larangan serta berbagai sangsi-sangsinya), serta mengadakan pemerataan hunian asrama santri.
Pada Senin 10 Syawal 1344 H. (1926 M.) Embah dinikahkan dengan Ny. Hj. Sa’adah binti KH. Ali bin K. Masinah, janda K. Halif (dari Desa Lontang Jaya) yang sudah mempunya seorang putra yaitu K. Athaillah. Ny. Sa’adah adalah kakak ipar Kiai sendiri. Walau secara status keluarga, Embah adalah saudara tua, tapi karena ta’dhim kepada guru, maka Kiailah yang dianggap/disebut Kiai Sepuh (tua), sedang Embah di kemudian hari, dikenal dengan sebutan Kiai Anom (muda).
Dua Perintah Sembilan Larangan Embah
Dalam pengabdiannya untuk agam, bangsa dan Negara, Embah terkenal sebagai sosok Kiai yang kharismatik, tawadlu’ dan istiqamah. Dahulu, ketika datang waktu sore hari banyak santri yang memanfaatkan waktunya untuk berolah raga, seperti main bola volley atau sepak bola, yang kadang-kadang berdampak negatif. Karena asiknya bermain, lalu kebablasan, akibatnya banyak santri yang tidak bisa mengikuti shalat maghrib berjama’ah. Kalau kebetulan santri sedang bermain, tiba-tiba dari kejauhan terlihat Embah berjalan mendekatinya, maka tanpa di komando lagi para santri lari berhamburan mencari tempat persembunyian. Karena, mereka tahu betul bahwa hal seperti itu sangat tidak disukai oleh Embah. Bahkan, ada pemeo yang mengatakan bahwa mendengar “batuk”-nya Embah saja, santri yang melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh Embah, akan lari terbirit-birit. Itulah, betapa Embah memiliki kharisma.
Walaupun demikian kharismatiknya, namun sifat tawadlu’ Embah patut diacungi jempol dan dijadikan uswah hasanah, seperti kepada seniornya KH. Amin Sepuh. Setiap kali berjama’ah shalat fardlu ataupun pada kesempatan lain, jika kebetulan bersama, Embah pasti selalu saja berada di belakang beliau, tidak pernah mendahuluinya. Bahkan, bukan hanya orangnya, tapi sandalnya jika kebetulan berada pada tempat yang sama, tidak pernah berada di depan sandal Kiai. Ini dilakuakn selama hayatnya (thul al-hayat).
Menurut KH. Abdul Syakur Yasin (Cadangpinggan, Indramayu) bahwa Pondok Pesantren Babakan besar diantaranya karena Embah Sanusui, dan Embah Sanusui besar karena istiqamah. Istiqamah di segala bidang. Seperti dalam berjama’ah, kendati pun Embah sedang bertamu di luar daerah, bila sudah mendekati waktu shalat, Embah pasti akan minta izin pulang supaya bisa shalat berjama’ah bersama santri. Sebelum memulai shalat berjama’ah, biasanya Embah memberi aba-aba: “rapet, lempeng”, artinya rapatkan dan luruskan shaf/barisan supaya tidak disusupi oleh setan.
Nasihat Embah kepada para santri, anak-anak, maupun kepada cucu-cucunya, yaitu: “ornag yang sedang mencari ilmu, apabila ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, harus menjalani aturan-aturannya, supaya mendapat ridla dari Allah SWT. Serta mendapat do’a dan berkah dari Ulama Shalihin, untuk itu harus”wekel ngaji lan jama’ah”. Bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu supaya cepat pandai. Tekun berjama’ah supaya benar kelakuannya (dua perintah).
Setelah pandai dan benar kelakuannya, baru dinamakan orang yang shalih mendapat anugerah selamat, bahagia dunia dan mulia bagi diri sampai anak cucunya. Arti Selamat ialah tidak di siksa baik di dunia maupun di akhirat. Bahagia berarti segala yang dicita-citakan akan tercapai dan mulia berarti tidak di hina orang bahkan sebaliknya, akan disegani dan dihormati. Larangan-larangan orang yang sedang mencari ilmu ada 9 (Sembilan), yaitu:
1. Aja olok jajan (jangan boros jajan). Belanja harus dibatasi, jangan menuruti hawa afsu. Karena jika dituruti akan berdampak orang tua tidak mampu lagi untuk membekalinya, sehingga berefek drop out belajarnya.


2. Aja doyan turu (jangan banyak tidur). Karena akan berakibat hatinya keras dan otaknya tumpul. Waktu tidur sehari semalam harus diatur, paling banyak 6 jam, yaitu dari pukul 22.00 s.d.04.00.


3. Aja lok plesiran (jangan suka rekreasi). Karena akan mengakibatkan hatinya beku tidak ingin pandai.


4. Aja sok nonton (jangan suka nonton). Sekalipun tontonan kecil, karena tontonan itu kesenangan hawa nafsu, kalau dituruti akan lupa pada belajar.


5. Aja lok melu bal (jangan suka ikut maen bola). Juga hal yang serupa dengan itu, akibatnya akan selalu ketinggalan mengaji dan berjama'ah.


6. Aja lok jambulan lan tinggal topong (jangan memelihara rambut dan menanggalkan kopiah). Karena hukumnya makruh, akibatnya sifat kekanak-kanakannya akan terbawa sampai usia senja, karena apabila rambut sudah sekira 5 cm, harus segera dicukur.


7. Aja lok ngenggo serowal pokek (jangan suka memakai celana pendek). Karena nanti akan merasa seperti anak-anak, akibatnya tidak punya rasa malu.


8. Aja sering balik (jangan sering pulang). Akibatnya tidak betah tinggal dipesantren. Pulang diizinkan minimal 6 bulan sekali.


9. Aja ngalih/boyong yen durung pinter (jangan pindah/pulang sebelum pandai). Minimal dalam satu pesantren 7 tahun, apabila kurang dari itu, kurang bisa dipertanggung jawabkan hasiln ya.


Contohnya: Orang yang sedang menggali sumur. Jika baru satu-dua meter pindah, tentu tidak akan mendapatkan air. Bahkan sepuluh kali pindahan air tidak akan keluar . Begitupun dalam m,encari ilmu, tekuni dan bersabar, jangan pindah-pindah sebelum berhasil.


Wallaahu Almuwaffiq Illaa Aqwaamith Thaariq.

BIOGRAFI KH. MA'MUN MA'SHUM



BIOGRAFI KH. MA'MUN MA'SHUM

KH.Ma’mun Ma’shum atau lebih dikenal dengan nama Mbah Ma’mun Beliau dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1918. Beliau di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang sederhana , dari pasangan H.Ma’shum dan Hj.Mu’minah. Semenjak kecil beliau sudah dididik dengan didikan khusus ayahandanya .


Ketika genap berusia 6 tahun beliau beserta kakaknya diantar ayahandanya berkunjung ke seorang kyai yang bernama Mohammad Arif dari Asem Cirebon. mulut mereka diludahi olehnya, beliau langsung menelan ludah tersebut sedang kakaknya memuntahkannya. Setelah kejadian itu beliau diperintah untuk menghafalkan nadzom-nadzom, diantaranya: Tuhfatul Akhbab, Amriti dan Alfiyyah.


Ketika berumur 9 tahun beliau sudah mampu menghafal nadzom Alfiyyah yang berjumlah 1002 bait, dari sini telah tampak jelas kecerdasan yang beliau miliki, yang mungkin jarang terjadi pada anak seusia beliau. Pada usia belasan tahun, mulailah beliau mengaji kitab Alfiyyah yang langsung dididik oleh ayahandanya, setelah kitab Alfiyyah di khatamkan, beliau nyantri kepada seorang kyai ahli alat yang bernama Kyai Zakaria guru Kyai Sanusi Babakan, Ciwaringin, Cirebon-, disana beliau mengaji beberapa ilmu salaf dengan penuh ketekunan dan kesemangatan.


A. Dari Pesantren ke Pesantren


Masa remaja beliau hanya dihabiskan untuk mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren yang lain, semangat beliau dalam menuntut ilmu sangat membara sekali sehingga terbersit suatu cita-cita yang luhur. Di usianya yang ke 17 tahun dengan penuh semangt beliau pergi menuntut ilmu ke daerah kadu gede kabupaten kuningan, disana beliau berguru kepada Kyai Anwar selama kurang lebih empat bulan.


Kemudian beliau pulang ke rumah dan meneruskan ngaji kepada ayahandanya. Setelah berusia 19 tahun beliau menyantren lagi di daerah Gentur Sukabumi disana beliau berguru kepada Hadratus Syeh Abdus Syukur. Ketika sedang semangat-semangatnya menuntut ilmu dan tidak ada yang di pikirkannya, selain bagaimana cara menggapai cita-citanya yang luhur, Syeh Abdussyukur gugur ditembak Belanda. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.


Dengan hati yang sedih atas berpulangnya syeh Abdussyukur ke Rahmat Allah. akhirnya beliau meninggalkan pesantren Gentur untuk melanjutkan belajarnya ke pesantren Babakan Ciwaringin,Cirebon, nyantri kepada Hadratus Syeh Kyai Sanusi dan Hadratus Syeh Kyai Amin. Karena dinilai Kyainya bahwa beliau sudah cukup matang maka beliau disuruh mengajar, akan tetapi entah dengan alasan apa beliau merasa keberatan memenuhi perintah gurunya .


Akhirnya beliau melanjutkan belajarnya di pesantren Babakan, namun hanya menimba ilmu kurang lebih dua bulan. Kemudian beliau meneruskan pesantrennya ke Arjawinagun Cirebon, Nyantri kepada Hadratus Syekh Syatori. Tatkala Kyai Syatori meniliti dan mengkaji Alfiyyah dihadapan santri-santrinya, tiba-tiba Kyai Syatori mendapat kemusykilan, maka Kyai Syatoripun mengajukan kepada dantri-santrinya untuk memurosi nadzam tersebut.


Kemudian dari salah satu santri yang duduk bersebelahan dengan mbah ma’mun menyeletuk seraya berkata: kulo kyai”, Kyai Syatoripun mempersilahkan santri yang nyeletuk tadi (bernama Abbas) untuk menjawab, akan tetapi Abbas menyerahkannya kepada Mbah Ma’mun dengan isyarat menyikutnya seraya berkata: Mun ira bae Mun”. Akhirnya mbah Ma’mun pun terkejut atas perilaku Abbas tadi, dan merekapun saling tuding menunjuk, namun akhirnya mbah Ma’mun pun menjawab kemusykilan tadi, dan kemudian dengan kerendahan hatinya beliau berkata bahwa jawabannya tadi adalah semata-mata karena petunjuk dari Allah SWT.


Setelah kejadian itu kyai syatori menyerahkan urusan pengajian Alfiyyah kepada Mbah Ma’mun, dan setelah hatam membaca kitab Alfiyyah beliau meneruskannya dengan pengajian kitab Uqudul juman, diantara santri yang mengikuti pengajian adalah prof.KH Maki dari Kali Tengah yag merupakan lulusan dari mesir.


B. Dari Pesantren ke Pelaminan


Di usianya yang ke dua puluh lima tahun, mbah ma’mun nyantri pada Kyai Amin bin Idris di Daerah Pekalongan. Ketika Kyai Amir sakit, Mbah Ma’munlah yang meneruskan penajian-pengajian, atas perintah Kyai Amir sendiri . Diantara kitab yang dibacanya: Tafsir Baedlowi, Asmuni, dan kitab samlawi, yang mana kitab-kitab tersebut sama sekali belum pernah beliau ngaji, tapi atas petunjuk Alllah SWT, Beliau tidak merasa kesulitan didalam membacanya.


Sampai akhirnya Kyai Amir pun pulang ke Rahmatullah “innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”. Terakhir kalinya Beliau menuntut ilmu di lasem Jawa Timur, Nyantri kepada Kyai Ma’sum sampai akhirnya tibalah hari bahagia yang yang penuh pada usia 25 tahun,mbah Na’mun melaksanakan akad nikah antara seorang kyai dengan putri seorang kyai yang bernama Nyai Mu’tiah pada tahun 1938.


C. Mendirikan Pondok Pesantren Assalafiyyah


Lembaran sejarah baru telah dibuka, berselang dua tahun dari pernikahan beliau, tepatnya tahun 1940 bersama dengan bapak mertuanya KH Manshur, pondok pesantren Assalafiyyah di dirikan sebanyak tiga lokal yang berlokasi disebelah utara Masjid Al-Istiqomqh Luwungragi. Tetapi ketika Agresi Militer Belanda 11 tahun 1942, mbah Ma’mun meninggalkan pesantren untuk menghindari incaran Belanda menuju ke Cirebon.




KH.Ma’mun Ma’sum atau lebih dikenal dengan nama Mbah Ma’mun Beliau dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1918. Beliau di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang sederhana , dari pasangan H.Ma’shum dan Hj.Mu’minah. Semenjak kecil beliau sudah dididik dengan didikan khusus ayahandanya .


Ketika genap berusia 6 tahun beliau beserta kakaknya diantar ayahandanya berkunjung ke seorang kyai yang bernama Mohammad Arif dari Asem Cirebon. mulut mereka diludahi olehnya, beliau langsung menelan ludah tersebut sedang kakaknya memuntahkannya. Setelah kejadian itu beliau diperintah untuk menghafalkan nadzom-nadzom, diantaranya: Tuhfatul Akhbab, Amriti dan Alfiyyah.


Ketika berumur 9 tahun beliau sudah mampu menghafal nadzom Alfiyyah yang berjumlah 1002 bait, dari sini telah tampak jelas kecerdasan yang beliau miliki, yang mungkin jarang terjadi pada anak seusia beliau. Pada usia belasan tahun, mulailah beliau mengaji kitab Alfiyyah yang langsung dididik oleh ayahandanya, setelah kitab Alfiyyah di khatamkan, beliau nyantri kepada seorang kyai ahli alat yang bernama Kyai Zakaria guru Kyai Sanusi Babakan, Ciwaringin, Cirebon-, disana beliau mengaji beberapa ilmu salaf dengan penuh ketekunan dan kesemangatan.


A. Dari Pesantren ke Pesantren


Masa remaja beliau hanya dihabiskan untuk mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren yang lain, semangat beliau dalam menuntut ilmu sangat membara sekali sehingga terbersit suatu cita-cita yang luhur. Di usianya yang ke 17 tahun dengan penuh semangt beliau pergi menuntut ilmu ke daerah kadu gede kabupaten kuningan, disana beliau berguru kepada Kyai Anwar selama kurang lebih empat bulan.


Kemudian beliau pulang ke rumah dan meneruskan ngaji kepada ayahandanya. Setelah berusia 19 tahun beliau menyantren lagi di daerah Gentur Sukabumi disana beliau berguru kepada Hadratus Syeh Abdus Syukur. Ketika sedang semangat-semangatnya menuntut ilmu dan tidak ada yang di pikirkannya, selain bagaimana cara menggapai cita-citanya yang luhur, Syeh Abdussyukur gugur ditembak Belanda. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.


Dengan hati yang sedih atas berpulangnya syeh Abdussyukur ke Rahmat Allah. akhirnya beliau meninggalkan pesantren Gentur untuk melanjutkan belajarnya ke pesantren Babakan Ciwaringin,Cirebon, nyantri kepada Hadratus Syeh Kyai Sanusi dan Hadratus Syeh Kyai Amin. Karena dinilai Kyainya bahwa beliau sudah cukup matang maka beliau disuruh mengajar, akan tetapi entah dengan alasan apa beliau merasa keberatan memenuhi perintah gurunya .


Akhirnya beliau melanjutkan belajarnya di pesantren Babakan, namun hanya menimba ilmu kurang lebih dua bulan. Kemudian beliau meneruskan pesantrennya ke Arjawinagun Cirebon, Nyantri kepada Hadratus Syekh Syatori. Tatkala Kyai Syatori meniliti dan mengkaji Alfiyyah dihadapan santri-santrinya, tiba-tiba Kyai Syatori mendapat kemusykilan, maka Kyai Syatoripun mengajukan kepada dantri-santrinya untuk memurosi nadzam tersebut.


Kemudian dari salah satu santri yang duduk bersebelahan dengan mbah ma’mun menyeletuk seraya berkata: kulo kyai”, Kyai Syatoripun mempersilahkan santri yang nyeletuk tadi (bernama Abbas) untuk menjawab, akan tetapi Abbas menyerahkannya kepada Mbah Ma’mun dengan isyarat menyikutnya seraya berkata: Mun ira bae Mun”. Akhirnya mbah Ma’mun pun terkejut atas perilaku Abbas tadi, dan merekapun saling tuding menunjuk, namun akhirnya mbah Ma’mun pun menjawab kemusykilan tadi, dan kemudian dengan kerendahan hatinya beliau berkata bahwa jawabannya tadi adalah semata-mata karena petunjuk dari Allah SWT.


Setelah kejadian itu kyai syatori menyerahkan urusan pengajian Alfiyyah kepada Mbah Ma’mun, dan setelah hatam membaca kitab Alfiyyah beliau meneruskannya dengan pengajian kitab Uqudul juman, diantara santri yang mengikuti pengajian adalah prof.KH Maki dari Kali Tengah yag merupakan lulusan dari mesir.


B. Dari Pesantren ke Pelaminan


Di usianya yang ke dua puluh lima tahun, mbah ma’mun nyantri pada Kyai Amin bin Idris di Daerah Pekalongan. Ketika Kyai Amir sakit, Mbah Ma’munlah yang meneruskan penajian-pengajian, atas perintah Kyai Amir sendiri . Diantara kitab yang dibacanya: Tafsir Baedlowi, Asmuni, dan kitab samlawi, yang mana kitab-kitab tersebut sama sekali belum pernah beliau ngaji, tapi atas petunjuk Alllah SWT, Beliau tidak merasa kesulitan didalam membacanya.


Sampai akhirnya Kyai Amir pun pulang ke Rahmatullah “innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”. Terakhir kalinya Beliau menuntut ilmu di lasem Jawa Timur, Nyantri kepada Kyai Ma’sum sampai akhirnya tibalah hari bahagia yang yang penuh pada usia 25 tahun,mbah Na’mun melaksanakan akad nikah antara seorang kyai dengan putri seorang kyai yang bernama Nyai Mu’tiah pada tahun 1938.


C. Mendirikan Pondok Pesantren Assalafiyyah


Lembaran sejarah baru telah dibuka, berselang dua tahun dari pernikahan beliau, tepatnya tahun 1940 bersama dengan bapak mertuanya KH Manshur, pondok pesantren Assalafiyyah di dirikan sebanyak tiga lokal yang berlokasi disebelah utara Masjid Al-Istiqomqh Luwungragi. Tetapi ketika Agresi Militer Belanda 11 tahun 1942, mbah Ma’mun meninggalkan pesantren untuk menghindari incaran Belanda menuju ke Cirebon.


Kemudian pada tahun 1947 beliau mendirikan pondok pesantren di Cirebon tepatnya di desa Peterongan, dan pondok itu juga dinamakan dengan nama Peterongan, sebab disekitarnya banyak ditumbuhi tanaman terong. Akhirnya pada tahun 1968 mbah Ma’mun pulang kembali ke Luwungragi untuk meneruskan perjuangan beliau yang tertunda setelah memperkirakan dahulu bahwa keadaan di Luwungragi aman. Adapun santri yang pertama kali mondok di Luwungragi adalah Amat yang berasal dari karang suwung.


Mulai tahun 1970 santri Luwungragi mulai bertambah diantaranya: Harun dari Lengkong Kuningan, Husain, Nunung dan Amin, santri-santri inilah yang merupakan cikal bakall Keluarga Besar Assalafiyyah Brebes. Namun pada tahun 1971, santri-santri ini meninggalkan pondok pesantren karena ada teroran dari sekelompok garong. Pada tahun 1973 setelah teroran dari garong itu berakhir, datanglah santri dari Kuningan yang bernama Abdul Manaf,dan sejak itulah mullai nampakn perkembangan Pondok Pesantren Assalafiyyah.


D. Wafatnya Mbah Ma’mun bin Ma’sum


Pada tanggal 26 Oktober 1986 kesedihan menyelimuti Assalafiyyah karena kami kehilangan seorang ulama besar yang sangat kami cintai Inna llillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Belliau adalah ulama besar sang pembawa lentera dan entah dengan apa kami membalas jasa-jasa beliau yang sangat berarti .Hanyalah Do’a yang dapat kami persembahkan untuk mengiringi kepergiannya . Semoga Allah SWT membalas atas segala kebaikan beliau . Amin ya robbal ‘Alamin.




Mulai tahun 1970 santri Luwungragi mulai bertambah diantaranya: Harun dari Lengkong Kuningan, Husain, Nunung dan Amin, santri-santri inilah yang merupakan cikal bakall Keluarga Besar Assalafiyyah Brebes. Namun pada tahun 1971, santri-santri ini meninggalkan pondok pesantren karena ada teroran dari sekelompok garong. Pada tahun 1973 setelah teroran dari garong itu berakhir, datanglah santri dari Kuningan yang bernama Abdul Manaf,dan sejak itulah mullai nampakn perkembangan Pondok Pesantren Assalafiyyah.


D. Wafatnya Mbah Ma’mun bin Ma’sum


Pada tanggal 26 Oktober 1986 kesedihan menyelimuti Assalafiyyah karena kami kehilangan seorang ulama besar yang sangat kami cintai Inna llillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Belliau adalah ulama besar sang pembawa lentera dan entah dengan apa kami membalas jasa-jasa beliau yang sangat berarti .Hanyalah Do’a yang dapat kami persembahkan untuk mengiringi kepergiannya . Semoga Allah SWT membalas atas segala kebaikan beliau . Amin ya robbal ‘Alamin.

Janji Allah Bagi Orang Yang Menikah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Diantara janji Allah bagi orang yang menikah, Allah janjikan kecukupan untuk me...