Friday, July 21, 2017

Biografi Syeikh Ibnu Athoillah Pengarang kitab al-Hikam



Biografi Syeikh Ibnu Athoillah
Pengarang kitab al-Hikam

Syeikh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari  (w. 1309) hidup di Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah) lalu pindah ke Kairo. Julukan al-Iskandari atau as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fiqih madzhab  Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi syadziliyah ini.
Sejak kecil, Ibnu Athoillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa Syeikh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshori Al-Mursi, murid dari Abu Hasan Syadzili, pendiri tarekat syadziliyah. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-syadili. Tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya  itu yang paling masyhur adalah kitab al-hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrohim ibn Ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zaruq dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah al-Tanwir fi Isqoth al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thoriq, Miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrod. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulam besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyah adalah sosok  ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Athoillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syariat.
Ibnu ‘Athoillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Beliau menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan (wushul). Menjadi teladan bagi orang –orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Beliau dikenal sebagai master atau syeikh ke-3 dalam lingkungan tarekat Syadziliyah setelah yang pendirinya Abu Hasan Asyadzili dan penerusnya, Abu Abbas al-Mursi. Dan Ibnu ‘Athoillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarekat syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ibeliau tokoh kunci di sebuah tarekat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Athoillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarekat, terutama kitab Al-Hikam yang melegenda ini.
Pengaran kitab Al-Hikam ini yang cukup populer di negeri kita ini adalah Syeikh Tajjudin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadili. Belaiu berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaiutu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu kendatipun namanya tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya Dr. Taftazani bisa menengarai bahwa beliau dilahirkan sekitar tahun 658 H sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syeikh Abu Hasan pendiri thoriqoh Syadziliyah sebagaiman diceritakan Ibnu ‘Athoillah dalam kitabnya “Lathoiful Minan” : “ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syeikh Abu Hasan Syadzili, alau aku mendengar beliau mengatakan “demi Allah... kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding.
Keluarga Ibnu ‘Athoillah adalah yang terdidik dalam lingkunga agama, kakek, dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajudin remaja sudah belajar pada ulam tingkat tinggi di Iskandariah seperti Al-Faqih Nasirudin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu ‘Athoillah memang salah satu kota ilmu disemenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, haidts, ushul fiqih, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf dann para Auliya Sholihin. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Ibnu ‘Athoillah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu ‘Athoillah menceritakan dalam kitabnya “ Lathoiful Minan” : “ bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu ‘Athoillah yaitu Abul Abbas al-Mursi mengatakan : “ kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu ‘Athoillah) datang kesini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursa mengatakan : “ malaikat jibril telah datang kepada Nabi Muhammad SAW bersam dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan : “ wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : “tidak... aku mengharap agar kelak akan  keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu ‘Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini’.
Pada akhirnya Ibnu ‘Athoillah memang lebih dikenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalan hidupnya, dari didikan yang murni fiqih bisa memadukan fiqih dengan tasawuf.
Karomahnya Ibnu ‘Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “ Kawakibud dzuriyah” mengatakan : “ Syeikh Kamal Humam ketika ziarah ke maqam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya :
“Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia...”. tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu ‘Athoillah dengan keras : “ wahai Kamal... tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat Ibnu ‘Athoillah ketika meninggal kelak.
Diantar karomahnya Ibnu ‘Athoillah adalah, suatu ketika salah satu murid beliauy berangkat haji. Di sanah si murid it melihat Ibnu ‘Athoillah sedang thowaf. Dia juga melihat sang guru ada dibelakang maqom Nabi Ibrohim, di Mas’aa dan Arofah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “siapa saja yang kamu temui? Lalu si murid menjawab : “ tuanku... saya melihat tuanku di sana”, dengan tersenyum al-Arif billah ini menerangkan : “orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja wali Quthub di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.
Wafatnya Syeikh Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia kala itu. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah Al-Mansuriyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman Qorrofah al-Kubro.

No comments:

Post a Comment

Janji Allah Bagi Orang Yang Menikah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Diantara janji Allah bagi orang yang menikah, Allah janjikan kecukupan untuk me...