Wednesday, July 19, 2017

KAROMAH GUS MIEK BERSAMA KYAI HAMID PASURUAN



KAROMAH GUS MIEK BERSAMA KYAI HAMID PASURUAN

KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940, beliau adalah putra KH Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri ponpen Al-falah ploso Kediri), Gus Miek salah satu tokoh NU dan pejuang Islam yang masyhur di tanah jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memilliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal sehat. Selain menjadi pejuang islam yang gigih, dan pengikut hukum yang setia dan patuh , Gus Miek memiliki spiritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau interaksi sosial (hablum minalloh wa hablum minanas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek memiliki hubungan dan pergaulan yang erat dengan almarhum KH Hamid Pasuruan, dan KH Ahmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual dzikrul ghofilin (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spiritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan NU, seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa  maupun luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang sholih, baik di dunia maupun di akhirat.
Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke Pasuruan untuk mengunjungi KH Hamid Pasuruan. Ini adalah sebuah pertemuan  pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di Pondok KH Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan sholat. Gus Miek lalu  bangun, tetapi bukan untuk menjalankan sholat melainkan membaca perjalanan hidup KH Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenai kelebihan dan kekurangannya. KH Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apapun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.
Suatu ketika, rombongan keluarga KH Ahmad Siddiq yang tengah khusuk ziarah ke makam Sunan Ampel terganggu oleh datangnya Gus Miek yang terdiri dari berbagai  latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu KH Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH Ahmad Siddiq menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemani KH Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.
Ya, pak yai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH Hamid setelah mendengar pengaduan KH Ahmad Siddiq, “ah masa? Tanya KH Ahmad Siddiq tidak percaya karena KH Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah jawa, saya itu tugasnya “sowan” kepada para kyai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah (para preman),” jawab KH Hamid.
KH Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan. Benar para pak kyai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah atau preman, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH Hamid.
Setelah mendengar jawaban KH Hamid, KH Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui ayah Gus Miek yaitu KH Djazuli untukk mengadukan jawaban KH Hamid tersebut.
Begini kyai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana? Dulu, kyai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH Djazuli.
Pada kasus lain diceritakan, setelah kekacauan akibat pemberotakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malam, Gus  Miek mengirim bacaan alfatihah kepada KH Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehinngga para pengikutnya pun ikut diam membisu.
Tiba-tiba di pekarangan rumah KH Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tetapi hanya mondar mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya. Maaf orang itu apakah Kiyai Hamim (Gus Miek)? Amar mengangguk”.
Gus nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yang ternyata adalah KH Hamid.
KH Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek  dengan KH Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.
Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memperdulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kyai Dhofir.
Mid,Hamid!” Kyai Dhofir memanggil. Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kyai Dhofir. Gus Miek dengan tergesah-gesah pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan emosi berkata: “Masya Alloh, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata krama!
Mungkin karena Kyai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.
Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kyai Hamid itu Kyai dan juga termasuk wali”. Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.
Setelah emosinya reda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kyai Hamid, wali disini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam, wali Husein berkat bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kyai Hamid.
Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama Ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-saqof. Hari itu hari Ahad, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habi Muhammad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as-Saqof.
Hingga diputuskan habib yang dicari itu pokoknya yang aneh, Khorikul ‘Adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga. Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH Hamid Pasuruan.
Begitu tiba di rumah KH Hamid, langsung disambut di depan pintu. “haamiim wal quraanil hakii,” sapa KH Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.
Setelah di dalam rumah, KH Hamid kemudian menyodorkan kain sarung samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.
Ini Gus, saya beri sarung, silahkan sholat dulu,” ujar KH Hamid.
Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke Masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya sholat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir.
Sehabis sholat, keduanya menemui KH Hamid. Wah, Gus sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jumat, saya khataman Riyadus sholihin dan di datengi kanjeng nabi,” ujar KH Hamid.
Gus Miek hanya tersenyum.
Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhammad as-saqof rumahnya dekat dengan rumah KH Hamid.
Tiba di rumah Habib Muhammad as-saqof, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang, “dari mana?” tanya Habib Muhammad as-saqof.
“mau minta doa sholawat,” jawab Gus Miek.
“apa belum sholat, di dalam sholat kan banyak sholawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhammad as-saqof.
Habib Muhammad as-saqof kemudian berdiri dan menjalankann sholat. Akan tetapi, urutan-urutan sholat yang dijalankan Habib Muhammad sungguh kacau balau menurut tata aturan syariat fiqih pada umumnya.
Usai sholat, Habib Muhammad mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhammad menuangkan kopi jahe khas arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan  disuruh menghabiskannya.
Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas itu, Habib Muhammad kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek, mengahbiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak merasakan apa-apa.
Mungkin itu adalah isyarah akan kewalian Gus Miek, yang akan mempunyai banyak pengikut.
Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhammad menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.
Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, benarlah isyarah tersebut, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek.
Suatu hari, ada seorang tamu yang meragukan sholatnya Gus Miek. Kemudian ia menemui KH Hamid untuk menanyakan hal itu.
Loh, itu yang kau tanyakan, itukan Gus Miek, cepat minta maaf sana. Ayo, saya antarkan,” ajak KH Hamid seperti gugup.
KH Hamid kemudian membukakan jendela. Lihat itu siap yang sholat,” kata KH Hamid.
Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus Miek tengah menjalankan sholat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga. Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf sana,” perintah KH Hamid.
Orang  itupun terus mencari Gus Miek dan baru ketemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.
Subhannalloh....

No comments:

Post a Comment

Janji Allah Bagi Orang Yang Menikah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Diantara janji Allah bagi orang yang menikah, Allah janjikan kecukupan untuk me...